“KAMPRETTT sekali sih tu orang tua! Kok berantem di rumah orang?” batinku.
Ada sepasang suami
istri yang membawa masalah rumah tangganya ke rumahku. Gila!!! Aku gak bisa
ngebayangin bagaimana kalau jadi Mirna.
Mirna
adalah sahabat sekaligus tetanggaku. Orangtua kami juga dekat, sedekat dua
meter rumahnya dari rumah kami. Haha... Gak lah. Ya, orangtua kami dekat udah
kayak keluraga.
Awalnya,
Mirna datang ke rumahku dengan mata sembab. Dia mintaku untuk mengantarnya ke
rumah bibinya yang bertempat di desa Mawangi, lumayan jauh dari sini, kira-kira
dua jam setengah. Mamaku yang juga sudah mengannggap Mirna seperti anaknya
sendiri tentu menanyakan apa yang terjadi pada Mirna.
“Mirna, kamu kenapa?”
“Gak papa.”
“Gak mungkinlah. Ayo
cerita sama tante.”
“Gak papa Tan.
“Pasti ada apa-apa.
Kamu berantem lagi? Sama siapa? Sama ibumu atau ayah tirimu?”
Mirna kukuh tidak mau
bercerita.
“Sudah ma, mungkin
Mirna belum siap atau malu mencerita masalah keluarganya melulu.”
Tidak lama kemudian
datanglah ibu dan ayah Mirna. Mereka mencoba menjelaskan dan membujuk Mirna agar
tidak pergi dari rumah. Namun, Mirna tetap ingin pergi. Akupun mengantarnya,
karena Mirna kembali menangis.
Ibu dan ayah Mirna
ribut di rumahku.
“Tolong kau jujur
sekarang! Ngapain saja kau di luar? Mabuk-mabukkan lagi?” kata ibuku pada ayah.
Aku yang bukan anaknya
saja begitu sekuat tenaga menahan air mata. Perih rasanya melihat pasangan
suami istri ini berantem di depan anaknya sendiri dan orang lain. Kejadian
seperti ini kerap terjadi hampir setiap hari.
Baru-baru saja Mirna
berbahagia karena kemarin ibunya keluar dari penjara terkait kasus pencurian di
sebuah minimarket, sedangkan ayah Mirna seorang pemabuk.
Selain itu, Mirna juga
memiliki dua adik laki-laki. Adik pertama Mirna bernama Agung, ia sedang
menempuh pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan yang kedua bernama Ryan berumur
tujuh tahun, baru saja ingin memasuki Sekolah Dasar (SD). Satu lagi, kedua
orang tua Mirna tidak memiliki pekerjaan tetap sehingga kebutuhan ekonomi
keluarganya sering tidak terpenuhi. Benar-benar keras kehidupan Mirna.
Mamaku yang sebenarnya
tidak ingin ikut campur mencoba menengahi dan terpaksa mengusir mereka. Kami
saja pusing mendengarnya.
Beberapa hari kemudian
Mirna kembali ke rumahnya. Bagaimanapun yang namanya sedarah pasti ada rindu
yang mendalam kepada orangtua. Namun tidak berubah, keluarganya rutin
berkelahi.
Untungnya tetangga kami
yang baik hatinya menawarkan untuk mengangkat Ryan, adik Mirna yang kedua sebagai
anak asuhnya dan menyekolahkan keluar kota. Walau berat, Mirna dan ibunya menyetujui, demi kebaikan
Ryan.
Adik-adik Mirna,
manusia yang tidak berdosa itu, Ryan disekolahkan di sebuah Pesantren yang
tidak diragukan lagi kualitasnya. Ternyata walau ibu dan ayahnya tidak begitu
pintar dalam mendidik, tetapi adik-adik Mirna punya bakat yang terpendam.
Ryan dikabarkan menjadi
murid yang berprestasi di Pesantren tempat ia belajar, sedangkan Agung menetap
tinggal di kampung halaman. Sekarang ia pun mulai belajar mencari uang sendiri
dengan mengamen.
Suatu hari ketika Aku
dan Mirna pergi ke Pasar, Mirna melihat Putri teman sekelas kami duduk di
pinggir jalan dengan menangis, sedangkan aku melihat Agung dari jauh.
“Mir, itu adikmu
bukan?” teriakku kaget, karena baru pertama kali melihat Agung mengamen.
“Mana?”
“Arghh, itu terlindung
mobil putih. Agung mengamen Mir?”
“Apa? Aku tak tahu
menahu sama sekali. Apa kamu tidak salah lihat?”
“Aku rasa tidak. Mari
kita dekati.” tarikku pada Mirna.
“Tunggu. Itu, aku
melihat Putri menangis.”
“Dimana?”
“Itu! Mirna menarik
tanganku untuk menghampiri Putri dan melupakan Agung.
Sesampai di depan
Putri. Pelan-pelan Aku dan Mirna menyapanya.
“Putri kamu kenapa?”
“Oh, kalian. Aku punya
masalah besar.” kata Putri.
“Cerita sama kita yuk,
siapa tahu bisa sedikit banyaknya melegakanmu,” tawar Mirna.
“Yasudah kita tidak
jadi ke pasar, ke rumah saja.” lanjutku.
Tiba di rumah.
“Assalamuaikum... Kok
sepi ya? Yasudah masuk saja Put, Mir langsung ke kamarku ya, aku ambil minum
sebentar.”
Lima belas menit
kutinggal ke dapur dan Putri masih diam membisu. Kemudian Putri berkata.
“Aku hamil,” ujar
Putri.
“Apa?” teriak Mirna dan
aku yang datang bersamaan dengan membawa tiga gelas minuman.
PRANKKKKK... Gelas yang
kubawa pecah.
“Si siapa yang
menghamilimu?” kataku terbata.
Putri yang tidak dapat
berkata apa-apa lagi memperlihatkan foto lelaki yang menghamilinya.
Seketika, mata Mirna
nanar melihat foto tersebut. Itu ayah tiri Mirna. Mirna langsung beranjak, tapi
aku menahannya. Putri yang kebingungan.
Sekarang, dihadapanku
ada dua teman sekelasku yang menangis. Perih sekali hati ini. Namun aku mencoba
menahan tangisku dan berpikir keras untuk mencairkan keadaan.
“Mirna jangan marah
dengan Putri dulu ya, kita dengarkan ceritanya,” kataku.
Putri mengaku tidak
tahu bahwa lelaki itu ayah tirinya Mirna. Tentu saja, pikirku. Mirna kembali
beranjak dan berlari ke rumahnya, ia ingin segera memberitahu ibunya. Mirna
bukan kecewa dengan Putri tapi dengan Ayahnya.
“Kamu tetap di sini
dulu ya Put, tenangkan dirimu. Aku mengejar Mirna dulu.”
“Iya.”
Tiba di rumah Mirna.
“Bu, Ayah telah bermain
wanita lain di luar sana dan yang menyakitkan sekali adalah wanita yang ia
hamili adalah teman satu kelasku. Aku malu!” kata Mirna sambil menjatuhkan
badannya ke lantai.
“Mirna... Pelan-pelan,
sabar sayang,” ujarku sambil memeluk Mirna.
Mama Mirna shok dan
tidak memercayai hal tersebut. Mirna yang kecewa mengancam untuk minggat dari
rumah.
“Yasudah, kamu
jauh-jauh dari mama dan pergi saja ke tempat bibimu.” kata ibu Mirna.
Aku tak dapat
berkata-kata lagi. Aku pun heran mengapa ibu Mirna masih saja percaya kepada
ayah tiri Mirna yang bajingan itu.
Mirna kembali ke rumah
bibinya di desa Mawangi. Mirna tetap melanjutkan sekolahnya yang tinggal
setahun lagi lulus SMA. Tidak terasa Aku dan Mirna akhirnya lulus. Aku
mealnjutkan kuliah tetapi tidak keluar kota, masih di kota yang sama, sedangkan
Mirna tidak melanjutkan kuliah melainkan ia memilih bekerja membantu bibinya
yang mempunyai usaha pengrajin tas.
Sampai sekarang aku dan
Mirna masih saling mengabari. Beberapa kali terlintas pikiran Mirna untuk
pulang dan beberapa kali juga ia menunda. Kali ini mungkin rindunya pada ibu,
adik dan aku sahabatnya sudah tak tertahan lagi.
“Hari ini Aku pulang.”
bunyi sms Mirna kepadaku.
Setelah menempuh hampir
tiga jam perjalanan karena macet, Mirna hampir sampai. Mirna melihat ada
keramaian di dekat lampu merah, ia penasaran dan turun dari taksi.
“Ya Allah... Agung!”
Mirna melihat Agung
yang tergelatak tak berdaya sambil memegangi satu alat musik yang biasa dipakai
seorang pengamen. Ternyata benar, pikir Mirna.
“Apa ibu tidak
merlarangnya? Apa ibu tidak tahu? ujar Mirna sambil menangis.
“Apa mbak mengenal anak
ini?” tanya salah seorang yang ada di tempat kejadian.
“Iya dia adik saya,
tolong kita ya Pak.”
Terlihat Bapak itu
menelpon ambulans dan Mirna segera membayar taksi yang ditupanginya sebelumnya
dan ikut mobil ambulans yang baru saja tiba untuk membawa Agung ke Rumah Sakit.
Mirna menelponku dan
meminta aku membawa ibunya menyusul ke Rumah Sakit.
Ibu Mirna juga
menghubungi Ryan untuk meminta bantuan, karena kata tetangga yang menyekolahkan
Ryan, Ryan memiliki banyak tabungan atas prestasi yang diperolehnya, sedangkan
ibu Mirna sudah bercerai dengan suaminya setelah terbukti mantan suaminya itu
menghamili teman Mirna.
Ibu Mirna yang tidak
mengetahui pekerjaan Agung, sebenarnya pernah diceritakan para tetangga yang melihat
Agung secara tidak sengaja ketika mereka pergi ke Pasar, karena di pasarlah
tempat pangkalan para pengamen. Namun, selalu saja ia kaget dan tak memercayai
hal tersebut. Ia akan percaya jika ia melihat dengan mata kepalanya sendiri,
sedangkan ibu Mirna orang yang pemalas termasuk untuk sekadar pergi ke Pasar.
Syukur-syukur Mirna
memiliki tabungan untuk biaya Rumah Sakit Agung.
Setelah kejadian ini, Ibu
Mirna banyak memperoleh nasihat dari Mirna anaknya sendiri, Mamaku, dan
tetangga yang peduli. Lambat laun, ibu Mirna mulai menyadari sikapnya yang
pemalas dan tak mendidik anaknya dengan benar. Ia malah memberikan contoh yang
tidak baik kepada anak-anaknya. Ia suka mengambil jalan pintas untuk
mendapatkan sesuatu dengan mencuri.
Akhirnya ibu Mirna
sadar dan berniat untuk memperbaiki dirinya dengan memulai usaha yang halal.
Mirna dan Ryan kembali ke rumah untuk menemani ibunya merawat Agung yang kini
kakinya lumpuh pasca kecelakaan kemarin. Mirna dan Ryan memberikan tabungan mereka untuk modal usaha Ibunya.
Sore itu Aku dan mama
duduk santai di teras rumah sambil memandang rumah di seberang yaitu rumah
Mirna yang saat itu terbuka. Terlihat Ryan membantu Agung melatih kakinya agar
bisa berjalan lagi, di samping itu ada Mirna yang juga mengajarkan ibunya cara
membuat tas seperti yang telah ia pelajari dari usaha bibinya.
“Senang sekali ya nak, melihat
Mirna dan ibunya rukun lagi.”
“Iya ma, syukur sekali.
Jadi jika ibunya tidak lebih baik, bukan berarti anaknya menjadi buruk ya kan
ma?”
“Iya sayang. Allah juga
pasti sayang dengan Mirna dan adik-adiknya yang berilmu.”
“Dengan aku juga kan
Ma?”
“Tentu,” jawab mama
sambil mencium keningku.
Komentar
Posting Komentar