Sejak saat itu aku
tidak pernah berani lagi berbicara perihal kriteria seseorang, terlebih lagi
kriteria fisik. Jikalau dengannya yang tidak sesuai kriteriaku pun bisa
membuatku nyaman dan menetap dengannya. Ternyata rasa nyaman bisa mengalahkan
segalanya. Aku tidak lagi mememandang fisiknya maupun keadaan sosial
ekonominya.
Terkadang
dia tidak percaya diri, namun aku lebih suka dengan kepercayaan dirinya yang
menyebut jika kami berdua adalah pasangan seperti angka sempurna yakni ‘10’ aku
1 dan dia 0 (bulat) hahaha. Dengannya akupun menjadi seseorang yang percaya
diri. Walau terikat dengannya tapi aku tetap saja merasa bebas, aku tetap bisa melakukan
apapun dan tetap bisa pergi ke mana saja dan dengan siapa saja. Dan kemanapun
ragaku pergi, hatiku tak pernah kemana-mana, kenyamanan dengannya membuatku
hanya menautkan hati kepadanya.
Sesakit apapun, seberapa banyak sabar yang akan aku
hadapi, aku memilihnya. Mungkin sebagian orang menganggapku aneh, karena disaat
aku bisa memilih pilihan yang terlihat jauh lebih menjanjikan kepastian, yang
lebih siap, aku memilih dia, ada makna yang kutemukan padanya.
Sampai pada akhirnya kami memlilih untuk menjalani
kehidupan masing-masing, dengan alasan yang sulit sekali untuk kupahami ‘apa
sebenarnya’. Dalam tenggat waktu yang tidak sebentar aku dimonopoli oleh
penantian, yang lelah aku cari di mana ujung jalan. Karena kakiku mulai tidak
kuat lagi bertahan. Dan aku seperti bumi yang akan tetap menerima hujan walau
sudah pergi berkali-kali. Aku terjebak dalam sebuah pengharapan atas janji yang
pernah aku dengar. Kemudian, aku terpaku terlalu lama pada pintu yang telah
tertutup, sehingga tidak dapat melihat pintu lain yang dibukakan untukku.
Ketika dia tiba-tiba menghilang dan aku memilih tetap
menunggunya pulang. Aku tidak mencari, namun tidak pernah benar-benar pergi,
meski ia belajar meninggalkanku. Tidak semua orang benar-benar berani
melepaskan meski hatinya telah dibunuh paksa.
Pada akhirnya aku
cukup tahu dan cukup menerima. Ditinggalkan memang menyebalkan namun ketika aku
menemukan kalimat dalam salah satu caption foto di ig bahwa yang pergipun
sama menderitanya dengan kamu, jika mencintai membutuhkan alasan maka
perpisahan juga. Jika aku percaya dengannya, mengapa aku tidak percaya
dengan keputusannya?
Aku pikir melapangkan hati memang pekerjaan yang panjang
dan perlu latihan berkali-kali. ‘Biarlah
yang indah cukup kekal sebagai hal yang sudah jauh terlewati dan tak perlu
dikunjungi lagi’. ~Bernard Batubara
Namun berbeda halnya
dengan tergantikan, ia tidak pernah indah.
Komentar
Posting Komentar