Caca terlihat
mencari sesuatu dalam tasnya dengan mimik muka nya yang panik bak ketinggalan
buku PR.
“Kamu sedang apa Ca?” tanya Ana.
“Sedang mencari
selimutku Na." jawab Caca.
“Selimutmu tidak ada? Apa kau lupa
membawanya? tanya Ana lagi.
“Aku rasa aku
telah membawanya.” kata Caca.
“Jangan-jangan...” sahut Eko dengan wajah menegangkan suasana.
“Jangan-jangan
apa kamu ini?” kata Caca.
“Jangan-jangan
ketinggalan.” sahut Eko dan beni secara bersamaan.
Kemudian mereka tertawa
terbahak-bahak karena berhasil membuat Caca dan Ana merasa takut.
“Tenang saja Ca, aku bawa selimut besar ko.” kata Ana.
“Oh teman, baik sekali hatimu.” jawab Caca.
“Ayo sini.”
kata Ana yang baru saja memasuki selimut miliknya.
Caca pun
berlari kecil untuk menghampiri Ana dan di sini lagi-lagi Caca merasakan
indahnya berbagi. Saking asyiknya menunggu pagi, Ana dan
teman-teman baru terlelap pukul tiga pagi dan
bangun pukul enam pagi. Caca yang bangun terlebih dahulu segera membangunkan
teman-temannya.
“Bangun-bangun! Katanya mau berfoto
bersama sunrice.” ucap Caca.
Ana, Beni dan
Eko pun segera bangun. Kemudian mereka berlarian mencari
objek yang bagus untuk jadi latar belakang foto mereka.
“Indah.” desis Ana.
Masih di puncak Bukit Batas yang sejuk. Ana dan teman-teman mengambil foto diberbagai lokasi.
“Aku rasa ini sudah cukup, sudah
hampir siang. Ayo kita lakukan kegiatan inti kita,
setelah itu pulang.” kata Beni.
“Lima menit
lagi Ben.” tawar Ana.
“Ok, ayo
teman-teman. Agar kita tidak kemalaman sampai di rumah. Ditakutkan ada kabut
mendadak.” sahut Caca.
“Iya deh.”
sahut Ana.
“Sudah siap
teman-teman? Aku buka dengan pantun ya?!”
kata Eko.
“Kita bagi tim
saja kalau begitu, biar asyik bisa berbalasan pantun. Kamu dengan Ana. Aku
dengan Beni.” kata Caca.
“Ok.” kata Eko.
Ada Tikus mencari makan,
Mencari jalan banyaknya cara.
Salam manis saya tuturkakn,
Sebagai salam pembuka acara.
“Balas Ben,
balas. Kita jangan mau kalah sama Eko dan Ana.” kata Caca.
Kemudian Beni membalas.
Minum jamu di rumah paklek
Rumah paklek di surabaya
Eh kamu udah jelek
Jangan kebanyakan gaya
Rumah paklek di surabaya
Eh kamu udah jelek
Jangan kebanyakan gaya
Eko membalas.
Sibaju merah otaknya sengklek,
Sibaju hijau minum cuka
Biarlah muka gue jelek,
Yang penting banyak yang suka
Caca membalas dan menujukan
pantunnya untuk Ana.
Buah jambu warnanya putih,
Enak dimakan bersama ganu
Badan kamu memang putih,
Tapi sayang putih karna panu
“Nih buat Beni.” sahut Ana.
Minum teh diatas genteng,
Jangan lupa pake bedak
Eh kamu jangan sok ganteng,
Muka lu kayak ketombe landak
Beni membalas.
Bulan terbelah buah cempedak,
Buah cempedak jatuh penyet
Biarlah mirip ketombe landak,
Daripada mirip ingus monye
“Ko kita jadi ngaur berbalas pantun ya? Hahaha.”
kata Ana sambil tertawa.
“Iya ya, aku rasa sudah cukup bercandanya.” kata
Eko.
“Ayo kita mulai serius.” ujar Caca.
“Siap.” kata Beni.
Di sini mereka
menyusun strategi, bertukar pikiran agar mendapat kemufakatan untuk memecahkan
masalah yang ada. Satu jam telah berlalu. Setelah selesainya kegiatan ini, mereka
pun bersiap-siap untuk pulang.
Setengah jam
kemudian.
“Apa semuanya
sudah beres?” tanya Beni.
“Sudah.” jawab
Caca.
“Jangan sampai
ada yang ketinggalan ya?!” kataAna.
“Kamu yang akan
ketinggalan An.” kata Caca dalam hati.
“Siap.” lanjut
Caca.
Sesampai dibawah
atau di pulau pinus tempat penyebrangan menuju tempat parkir motor, sebelum naik ke kapal Eko menengok ke belakang untuk mengecek anggota
timnya. Mengapa hanya ada Caca dan Beni?
Eko yang
berjalan enam meter di depan Caca dan Beni pun bingung dan sedikit menyesal.
Caca dan Beni yang asyik bercanda, terdiam sejenak melihat wajah Eko yang
kebingungan.
“Di mana Ana?”
tanya Eko.
Barulah Caca
dan Beni menengok ke sekeliling mereka mencari keberadaan batang hidung Ana.
“Hah Ana tidak
ada. Mengapa kita tidak menyadarinya Ca?” kata Beni.
“Sejak kapan ia
tidak ada? Perasaanku ketika kita bercanda sedari tadi, ada saja suaranya ikut
bercanda.” kata Caca.
“Ini aneh
sekali.” kata Beni.
“Seharusnya Aku
berjalan di belakang kalian, sebagai ketua tim yang baik dan selalu mengawasi.
Ini salahku.”
“Jangan
menyalahkan diri sendiri, ini juga salah kami. Iyakan Ben?” kata Caca.
“Iya.” kata
Beni.
“Bagaimana kita
bisa pulang tanpa Ana?” tanya Eko sedih.
“Kita harus
mencari Ana sampai dapat, barulah kita pulang. Bagaimana?” tanya Beni.
“Siap.” jawab
Eko.
“Bagaimana
denganmu Ca, masih kuat?” tanya Beni.
“Masih dong.”
kata Caca.
“Nah gitu dong,
ayo kita tos dulu.” jawab Eko sambil mengulurkan tangannya.
Caca dan beni
juga meletakan tangan mereka diatas tangan Eko. Kemudian mereka berteriak...
“SEMANGATTT!!!”
“Mungkin ini ujian awal untuk tim kita, untuk belajar mengatasi dan
memecahkan misteri-misteri dari kehilangan Ana secara tiba-tiba. Iyakan?” kata
Eko.
“Iya, betul.”
ujar Beni.
“Yasudah kita balik ke atas lagi.” ucap Caca.
“Oh ya, kalau
ada yang kelelahan jangan dipaksakan ya. Bilang saja, biar kita istirahat
dulu.” ujar Eko.
“Siap.” sahut
Caca dan Beni.
Walau hati Eko gundah namun ia tetap semangat karena melihat tingkah
konyol kedua temannya itu.
“Kalian merasa panas tidak?” tanya Beni.
“Iya panas sekali.” kata Caca.
“Berhubung aku baik hati, ini aku
kasih angin sepoi-sepoi.” kata Beni.
Kemudian muncul bau menyengat.
Caca dan Beni langsung menutup hidungnya.
“Aish... usil
sekali kau ini.” ujar Beni.
“Iya... Menjauh
kek sana. Bau sekali tahu?! kata Caca.
Eko hanya tertawa mendengar
celotehan teman-temannya itu.
“Lihat! Aku menemukan sebuah HP” kata Beni.
“Bukan kah itu HP
Ana?” kata Eko.
“Benar. Itu
milik Ana.” kata Caca.
“Apa ini sebuah petunjuk? Bahwa Ana ada berada di sekitar sini?” kata Eko.
“ANAA...
ANAAA...” teriak Caca dan Beni.
Eko
mengutak-atik HP Ana. Kemudian muncul foto screenshot.
Ada gambar dan tulisan “Orang ini mencoba menyelinap HP Anda”, yang anehnya
adalah gambar tersebut tidak lain gambar Ana sendiri.
Caca yang
melihat Eko kebingungan kemudian menghampirinya.
“Ada apa Ko?”
tanya Caca.
“Lihat Ca.
“Orang ini mencoba menyelinap HP Anda”. ujar Eko sambil memperlihatkan kepada
Ana.
“Sini aku
lihat.” ujar Caca sembari mengambil HP Ana.
Caca mencoba
melihat lebih dekat dan seksama. Hingga ia menemukan suatu keganjilan pada
gambar tersebut.
“Lihat!” kata
Caca.
Beni dan Eko mendekat.
“Ini,
di kiri Ana ada tangan seseorang, hanya kelihatan setengahnya. Tangan siapa
itu?” kata Caca berlagak kaget.
“Ya
ampun... tangan siapa lagi kalau bukan tangannya orang jahat.” kata Beni.
“Ya
Allah... Ben, Ko, aku takut Ana kenapa-kenapa.” kata Caca.
“
Hemm, kita tenangkan diri sebentar. Aku juga khawatir Ca.” sahut Eko.
“Mau
menghubunginya tapi tidak bisa, tidak ada sinyal. Bagaimana ini?” kata Caca.
“Kalaupun
ada sinyal, tetap tidak bisa Caaa. Kamu lupa? HP Ana kan ada di sini.” kata
Beni nyengir.
“Hhahaha
Caca, Caca... Ada-ada saja.” ujar Eko.
“Oiyaya
hehe. Aku lupa guys.” ujar Caca ikut nyengir.
Terdiam sesaat. Eko
kembali melihat ke layar HP Ana.
Terkunci.
“Kalian
tahu apa password HP Ana?” tanya
Beni.
“Tahu, tahu.” kata
Caca dan Beni.
“Nama ayahnya
kan?” kata Beni”
“Bukan. Tetapi
nama Ibunya.” kata Caca mencoba mengecoh.
“Coba saja dulu
Ben, Ca. Semoga password-nya tidak
dirubah saja dari apa yang kalian ketahui.” tambah Eko.
“Aamiin.” kata
Beni.
Tet, tet, tet,
tet. Caca mencoba membuka dengan password
yang ia sebutkan secara asal. Tentu saja password-nya
salah. Kemudian giliran Beni menekan layar HP Ana memasukan password pembuka kunci. Tlingggg...
Layar handphone Ana berhasil terbuka.
“Tapi untuk apa
ini?” ujar Caca.
“Ca, Ca... Buka
pikiran kita lebih luas lagi. Kan calon detektif haha.” sahut Beni.
“Siapa tahu ada
petunjuk Ca.” kata Eko.
Eko
mengutak-atik HP Ana. Dibukanya berbagai media sosial milik Ana. Dari BBM, Line, Facebook sampai Instagram yang padahal hanya berisikan
foto-foto selfie Ana. Eko berpikir siapa
tahu ketika muncul sinyal, Ana sempat mengabarkan kepada teman-temannya
bagaimana keadaan terakhirnya. Namun tidak ada update-an terbaru dari Ana. Dibukanya lagi Memo atau catatan,
pesan. Dari banyak memo yang muncul,
memo pada posisi teratas tercatat waktu 10.10 (4/4).
Eko tercengang
dan membuat Caca dan Beni bergerak mendekat ke arah HP yang tengah di pegang
Eko.
“Hari ini!!!”
teriak Caca sadar.
Beni dan Eko
yang terkaget-kaget dengan teriakan Caca menutup telinga mereka.
“Duh berisik
sekali Kau ini, sampai sakit telingaku mendengar suara mu yang cempreng itu.”
kata Beni kesal.
“Maaf-maaf, aku
kaget sekali. Apa yang hari Ko?” kata Caca.
“Memo ini di
tulis Ana satu jam yang lalu.” jawab Eko.
“Cepat buka Ko.”
kata Beni.
“Iya-iya.” ujar
Eko.
“Bismillah...”
ucap Beni dan Eko bersamaan.
Kemudian Eko
membuka memo tersebut. Caca dan Beni tengah menunggu dengan gugup.
10.10 am
Dear teman-temanku. Aku bingung kenapa ketika di perjalanan, kita terpisah
begitu saja. Aku tidak menyalahkan kalian telah meniggalkan ku. Ketika
menyadari bahwa ternayata di sini aku tertinggal sendiri, jujur saja aku sangat
ketakuant. Hingga ada seseorang yang menghampiriku, mengajak berkenalan lalu
menawarkan diri untuk mengantarku keluar dari sini, aku pun mengiyakannya.
HP Ana tiba-tiba saja mati.
“Agh... kenapa
lagi ini? Belum selesai juga orang membacanya. Kenapa harus Low?” kata Beni kesal.
“Ya ampun,
habis betrai kah?” kata Eko.
“Iya.” kata
Beni.
“Sebentar.”
kata Eko.
Eko mengeluarkan
HP-nya, kemudian membuka cassing-nya dan mencabut betrai HPnya yang sama dengan
betrai HP Ana.
“Cepat pasang.”
kata Beni.
“Bismillah.”
ujar Eko.
Eko memasang
betrai kemudian menghidupkan kembali HP Ana. Terdiam beberapa saat. Setelah
satu menit, menyalalah HP Ana.
“Lanjutkan
membacanya.”ujar Beni.
“Ok.” sahut Eko.
Sebelum aku mengikutinya, aku bertanya “mau kau bawa kemana? teman-temanku
tengah menunggu ku.” Kata pemuda itu, cuaca di sini buruk. Sementara ia akan
membawaku ke sebuah Villa. Vlila yang terletak tidak jauh dari sini. Jika
kalian sudah menyebrang, sampai di Hutan Pinus, coba kalian temui aku di Villa
tersebut. Beberapa meter setelah keluar dari Hutan Pinus.
Semoga kalian yang menemukan handphone ku dan semoga kita semua selalu
dalam lindungan-Nya. Aamiin.
“Hemmm, jadi
Ana sudah keluar dari sini dan meninggalkan kita. Namun mengapa kita tidak
bertemu dengannya ketika di penyebrangan ya? Apa kalian yakin, orang yang
membawa Ana adalah orang baik-baik?” tanya Caca.
“Kita jangan
berpikir yang tidak-tidak dulu ya Ca, siapa tahu jalan keluar dari sini tidak
hanya ada satu jalur.” kata Eko.
“Iya benar. Mungkin
Ana keluar dari jalur lain. Semoga Ana baik-baik saja.” ujar Beni.
“Ayo, kita
turun sekarang yuk?” kata Eko.
“Tos dulu
kawan.” ujar Beni.
“TOSSS...
SEMANGATTT!!!” teriak ketiganya.
Di tengah
perjalanan.
“Mengapa
perasaanku tidak enak ya?” ujar Caca.
“Kita jalan
cepat saja yuk!” kata Beni.
Caca, Beni dan
Eko sedikit mempercepat langkah mereka dari sebelumnya, sedikit banyaknya ada
kekhawatiran di dalam hati masing-masing mereka terhadap Ana.
Di lain tempat.
“Kita sudah
sampai. Ayo masuk.” kata pemuda yang membawa Ana.
Sebenarnya Ana merasa tidak yakin dengan
pemuda tersebut. Wajahnya aneh dan mencurigakan.
“Iya.” sahut
Ana.
“Silahkan duduk
dulu, kalau mau istirahat. Setengah jam lagi baru saya antar kamu ke permukaan
jalan keluar. Kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk minta tolong kepada saya.”
kata pemuda.
“Iya. Terima
kasih kak.” kata Ana.
“Ah, santai
saja. Satu lagi tidak usah memanggil saya kakak, sepertinya kita seumuran.”
kata pemuda.
“Oh begitukah,
ok.” kata Ana.
Kemudian pemuda
tersebut ke ruang belakang. Ana merasa sekarang ia berada di suatu gedung tua bukan
Villa seperti apa yang dikatakan pemuda sebelumnya.
Ada suara dari
ruang belakang yang sedikit mengganggu pendengaran Ana. Diam-diam Ana mengintip
apa yang sedang dilakukan pemuda tersebut. Ana bingung karena ia melihat ada
senjata tajam di dekat pemuda itu.
Ana merinding,
ketika ia melihat pemuda tersebut mulai membersihkan wajahnya. Pemuda tersebut
seakan memakai topeng dengan rias wajah yang ia gunakan.
“Mengapa
aku merasa familiar dengan wajah pemuda itu?” gumam Ana.
Ana kembali
melihat ke sekitarnya siapa tahu di dalam sana masih ada orang selain dirinya
yang melihat ia sedang mengintip si pemuda. Ketika pandangannya kembali beralih
ke ruang belakang, Ana dikejutkan dengan seseorang yang tiba-tiba menarik
rambutnya.
Tidak lain itu
adalah tangan kiri pemuda tadi dan dengan tangan kanannya mencekik leher Ana.
Ana memelototinya sebentar.
“Kamu...” Ana
kaget.
“Mengapa? Kamu
mengenali saya?” sahutnya.
Ana masih
terdiam. Percaya atau tidak pemuda tersebut merupakan kaka kelasnya sendiri.
“Jangan sok
jadi pahlawan kalian, ingin membantu memecahkan kasus kematian Swara. Itu bukan
tugas kalian!” kata pemuda.
“Ka Egi? Kami
membuat tim ini untuk mencari penerangan untuk kasus tersebut ka.” kata Ana.
“Alah...
Penerangan apaan?” kata Egi.
“Mengapa kaka
melakukan ini kepada ku? Kaka takut kalau terbukti penyebab itu semua benar
kaka?” kata Ana.
“Tidak!” kata
Egi.
“Lalu mengapa?”
kata Ana.
“Saya tidak
bersalah! Saya hanya berpikir pada akhirnya kalian membuat pernyataan bahwa
saya juga yang disalahkan dan itu membuat saya geram.”
“Tidak ka, niat
ku dan teman-teman baik.” kata Ana.
Ana bersikeras
mencoba lepas dari cengkraman Egi. Sedangkan di lain tempat, Caca, Beni dan Eko
sedang kebingungan. Ketika keluar dari pulau Pinus, dari situ terlihat dua
bangunan yang mereka bimbang manakah yang di maksud Villa tempat ada berteduh
Ana. Satu berada sebelah kiri, satunya berada sebelah kanan. Sebelah kanan, terdapat
bbangunan tua dan sebelah kiri nampak seperti sebuah Villa.
“Guys,
ada dua pilihan nih, kita ke kiri atau ke kanan?” kata Beni.
“Kalau
yang nampak seperti yang dikatakan Ana, sebuah Villa, berarti kita ke kiri.
Setuju?” kata Eko.
“Iya,
setuju.” kata Caca.
Lima
menit kemudian. Eko, Caca, dan Beni tiba di Villa.
“Selamat sore.
Apakah ada orang?” kata Eko.
“Permisi...”
kata Beni.
“Langsung masuk
saja.” ujar Caca.
Mereka pun
langsung masuk. Setelah melihat dari atas ke bawah dan kiri ke kanan. Caca
mulai bersuara.
“Cat merah
semua, serem ya?” ujar Caca.
“Iya.” sahut
Beni.
Eko yang nampak
diam saja ternyata sedang tercengang, melihat tangannya penuh dengan darah
kental. Caca yang juga baru saja menyadari hal tersebut tentu bertanya.
“Kamu kenapa,
ko sampai berdarah seperti itu?” tanya Caca.
“Aku hanya
menyentuh dinding Villa ini, ternyata...” ujar Eko yang masih bingung.
Lalu Beni
mencoba melakukan hal seperti yang dilakukan Eko sebelumnya. Ia menempelkan
tangannya ke dinding villa dan benar saja warna merah itu melekat di tangan
Beni. Kemudian Caca menurutinya dan mencium tangannya.
“Ini bau darah
geng.” ujar Caca.
“Di
sini ada toilet ga ya?” kata Eko.
“Tentu saja
ada. Sini aku tunjukkan.” ujar Caca.
Eko yang sudah
ingin sekali buang air kecil langsung menuju ke belakang. Caca yang menunjukkan
arah toilet begitu saja seperti sudah tahu dengan tempat itu membuat Beni
bingung. Tetapi Beni hanya diam.
Ketika Beni
lengah, Caca menusuk Beni dari belakang dengan pisau tajam yang ia sembunyikan
sebelumnya. Beni sempat berteriak meminta tolong untuk di lepaskan pisau yang
menancap ke tubuhnya. Namun Eko tidak bisa menolong karena tidak dapat keluar
dari toilet yang di kunci Caca dari luar. Caca pun langsung melarikan diri ke
tempat dimana Egi berada.
Ketika Caca
tiba di gedung tua, Egi belum saja menghabiskan nyawa Ana. Tanpa pikir panjang,
Caca langsung menusuk perut Ana.
“Caca? Mengapa kau membunuhnya disini?” kata Egi yang
kaget melihat caca datang dan langsung menghabiskan nyawa Ana.
“Lalu?” sahut Caca.
“Seharusnya kita
membunuhnya di Villa berdarah itu.” jawab Egi.
“Mengapa harus di sana?”
tanya Caca.
“Kamu ini bagaimana sih? Sudah
ku bilang, bertahun-tahun
yang lalu pemilik asli Villa
itu melakukan bunuh diri di Villa
tersebut, dan orang-orang yang tahu sejarah itu pun meyakini Villa itu menjadi tempat
yang angker. Dengan begitu orang akan
beranggapan bahwa Beni dan Ana mati karena arwah gentayangan di dalamnya, dan
kita tidak akan jadi buronan seperti kasus-kasus pembunuhan.” terang Egi.
Hingga
pemilik setelahnya pun mencoba menjual villa itu namun tak
pernah laku, berita
keangkerannya membuat siapa pun takut memilikinya, bahkan mengunjunginya sekalipun dan
sekarang ada siswa-siswi
dari Bandung ini yang nekat
memasuki villa itu.
“Bagaimana dengan Beni
dan Eko? tanya Egi.
“Beni sudah ku habisi.
Sedangkan Eko ku kunci di dalam toilet.” jawab Caca.
“Apa Eko tahu kau
membunuh Beni?” tanya Egi.
“Umm sepertinya, karena
Beni sempat berteriak.” kata Caca.
“Lalu kau tinggalkan Eko
begitu saja? Bodoh!! Mengapa tidak kau habiskan saja sekalian? Biar tidak ada
saksi. Kau mau masuk penjara hah?” kata Egi geram.
“Aku tidak peduli. Sekarang aku tahu
bagaimana sensasi kenikmatan yang ditimbulkan dari membunuh seseorang. Sekarang
aku bisa merasakan bahwa membunuh itu mendatangkan rasa kepuasan, suatu sensasi
kenikmatan, suatu perasaan berkuasa yang tak terkalahkan. Dan lebih kuat dari
candu apa pun, kenikmatan membunuh itu seketika menguasaiku, dan aku sudah
ingin melanjutkan pembunuhan berikutnya.” ujar Caca.
“Berikutnya?
Kau ingin membunuh Eko kan?” tanya Egi.
Caca
menatap Egi dingin. Tatapan seperti ingin menerkam. Egi yang ketakutan, lari
terbirit-birit.
Hari
yang diangankan oleh Eko, hari yang
indah dan damai dalam keheningan itu berubah menjadi
malam paling mengerikan yang belum pernah dibayangkannya. Satu per satu temannya tewas terbunuh.
Caca
kembali ke Villa tersebut. tiba di sana ia melihat Eko telah menjadi mayat.
Mengerikan, ada keris yang menancap di badan Eko. Keris itu meninggalkan saksi.
Lukisan jari manusia.
“Siapa
yang membunuhnya?” gumam
Caca.
Caca
bingung. Ia pun berpikir jika lebih baik ia segera pergi dari tempat itu. Sementara semua pintu terkunci
dalam villa itu secara misterius tanpa bisa keluar. Caca panik untuk dapat
menyelamatkan diri dan ketakutan jika
tiba-tiba maut menghampirinya.
“Jadi
benar apa yang dikatakan Egi? Bahwa Villa ini...” kata Caca.
Di
dalam Villa, Caca hanya bisa menangis. Sudah satu hari ia terkurung dalam Villa
tersebut. Kelaparan dan hampir mati kehausan, hingga Caca mengumpulkan air
matanya sendiri untuk di minumnya. Walaupun ragu-ragu, namun apa boleh buat dan
tidak ada cara lain.
Setelah
meminum air matanya sendiri, Caca tewas. Di luar, Egi yang tengah mengintipnya
sedari tadi sangat terkejut melihat Caca terkulai di lantai setelah melihat
Caca meminum apa yang ada digelas di samping Caca.
Egi
mendobrak pintu Villa. Namun ia tidak sanggup membukanya sendirian. Warga yang
melihatnya pun segera membantu. Akhirnya pintu terbuka. Dipanggilnya polisi.
Beruntungnya
hanya beberapa saat, polisi datang dan segera mengamankan mayat-mayat yang ada.
Ketika akan berangkat kembali ke kota, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh bunyi
sebuah ledakan kecil. Egi teringat dengan mayat Ana yang masih tergeletak di
gedung tua. Ternyata ia tidak sampai hati meninggalkan jasad adik kelasnya itu.
Ia pun mengakui semua kesalahannya bahwa dirinya dan Caca telah merencanakan
pembunuhan ini. Egi juga meminta izin kepada pasukan yang akan membantunya
membawa Caca dan teman-temannya ke kota untuk kembali ke gedung tua.
“Aku
ingin kembali ke gedung tua untuk...” kata Egi.
“Buat
apa?” sahut salah satu polisi muda.
“Mengambil
jasad adik kelasku yang ada di sana.” kata Egi.
Kebetulan
kebanyakan polisi yang datang adalah polisi muda sehingga sebagian tidak terbiasa dengan ledakan-ledakan kecil
sebelumnya, sebagian merasa ketakutan.
“Sudahlah
biarkan saja.” jawab polisi muda yang bernama Tiyo td.
Pak
Rendra, salah satu anggota penyelamat itu menjabat sebagi calon inspektur divisi
satu bagian pembunuhan dan penganiayaan. Pak Rendra segera memerintahkan
sebagian polisi untuk menemani Egi kembali ke Gedung tua dan ia segera membawa
mayat Caca, Beni dan Eko untuk di selidiki.
Sampai jumpa di bagian selanjutnya..., bagian terakhir.
Komentar
Posting Komentar