Langsung ke konten utama

ENIGMA bagian 2


Caca terlihat mencari sesuatu dalam tasnya dengan mimik muka nya yang panik bak ketinggalan buku PR.
“Kamu sedang apa Ca?” tanya Ana.
“Sedang mencari selimutku Na." jawab Caca.
“Selimutmu tidak ada? Apa kau lupa membawanya? tanya Ana lagi.
“Aku rasa aku telah membawanya.” kata Caca.
“Jangan-jangan...” sahut Eko dengan wajah menegangkan suasana.
“Jangan-jangan apa kamu ini?” kata Caca.
“Jangan-jangan ketinggalan.” sahut Eko dan beni secara bersamaan.
Kemudian mereka tertawa terbahak-bahak karena berhasil membuat Caca dan Ana merasa takut.
“Tenang saja Ca, aku bawa selimut besar ko.” kata Ana.
“Oh teman, baik sekali hatimu.” jawab Caca.
“Ayo sini.” kata Ana yang baru saja memasuki selimut miliknya.
Caca pun berlari kecil untuk menghampiri Ana dan di sini lagi-lagi Caca merasakan indahnya berbagi. Saking asyiknya menunggu pagi, Ana dan teman-teman baru terlelap pukul tiga pagi dan bangun pukul enam pagi. Caca yang bangun terlebih dahulu segera membangunkan teman-temannya.
“Bangun-bangun! Katanya mau berfoto bersama sunrice.” ucap Caca.
Ana, Beni dan Eko pun segera bangun. Kemudian mereka berlarian mencari objek yang bagus untuk jadi latar belakang foto mereka.
“Indah.” desis Ana.
Masih di puncak Bukit Batas yang sejuk. Ana dan teman-teman mengambil foto diberbagai lokasi.
“Aku rasa ini sudah cukup, sudah hampir siang. Ayo kita lakukan kegiatan inti kita, setelah itu pulang.” kata Beni.
“Lima menit lagi Ben.” tawar Ana.
“Ok, ayo teman-teman. Agar kita tidak kemalaman sampai di rumah. Ditakutkan ada kabut mendadak.” sahut Caca.
“Iya deh.” sahut Ana.
“Sudah siap teman-teman?  Aku buka dengan pantun ya?!” kata Eko.
“Kita bagi tim saja kalau begitu, biar asyik bisa berbalasan pantun. Kamu dengan Ana. Aku dengan Beni.” kata Caca.
“Ok.” kata Eko.
Ada Tikus mencari makan,
Mencari jalan banyaknya cara.
Salam manis saya tuturkakn,
Sebagai salam pembuka acara.
“Balas Ben, balas. Kita jangan mau kalah sama Eko dan Ana.” kata Caca.
Kemudian Beni membalas.
Minum jamu di rumah paklek
Rumah paklek di surabaya
Eh kamu udah jelek
Jangan kebanyakan gaya
Eko membalas.
Sibaju merah otaknya sengklek,
Sibaju hijau minum cuka 
Biarlah muka gue jelek,
Yang penting banyak yang suka

Caca membalas dan menujukan pantunnya untuk Ana.
Buah  jambu warnanya putih,
Enak dimakan bersama ganu
Badan kamu memang putih,
Tapi sayang putih karna panu

“Nih buat Beni.” sahut Ana.

Minum teh diatas genteng,
Jangan lupa pake bedak
Eh kamu jangan sok ganteng,
Muka lu kayak ketombe landak
Beni membalas.
Bulan terbelah buah cempedak,
Buah cempedak jatuh penyet
Biarlah mirip ketombe landak,
Daripada mirip ingus monye
“Ko kita jadi ngaur berbalas pantun ya? Hahaha.” kata Ana sambil tertawa.
“Iya ya, aku rasa sudah cukup bercandanya.” kata Eko.
“Ayo kita mulai serius.” ujar Caca.
“Siap.” kata Beni.
Di sini mereka menyusun strategi, bertukar pikiran agar mendapat kemufakatan untuk memecahkan masalah yang ada. Satu jam telah berlalu. Setelah selesainya kegiatan ini, mereka pun bersiap-siap untuk pulang.
Setengah jam kemudian.
“Apa semuanya sudah beres?” tanya Beni.
“Sudah.” jawab Caca.
“Jangan sampai ada yang ketinggalan ya?!” kataAna.
“Kamu yang akan ketinggalan An.” kata Caca dalam hati.
“Siap.” lanjut Caca.
 Sesampai dibawah atau di pulau pinus tempat penyebrangan menuju tempat parkir motor, sebelum naik ke kapal Eko menengok ke belakang untuk mengecek anggota timnya. Mengapa hanya ada Caca dan Beni?
Eko yang berjalan enam meter di depan Caca dan Beni pun bingung dan sedikit menyesal. Caca dan Beni yang asyik bercanda, terdiam sejenak melihat wajah Eko yang kebingungan.
“Di mana Ana?” tanya Eko.
Barulah Caca dan Beni menengok ke sekeliling mereka mencari keberadaan batang hidung Ana.
“Hah Ana tidak ada. Mengapa kita tidak menyadarinya Ca?” kata Beni.
“Sejak kapan ia tidak ada? Perasaanku ketika kita bercanda sedari tadi, ada saja suaranya ikut bercanda.” kata Caca.
“Ini aneh sekali.” kata Beni.
“Seharusnya Aku berjalan di belakang kalian, sebagai ketua tim yang baik dan selalu mengawasi. Ini salahku.”
“Jangan menyalahkan diri sendiri, ini juga salah kami. Iyakan Ben?” kata Caca.
“Iya.” kata Beni.
“Bagaimana kita bisa pulang tanpa Ana?” tanya Eko sedih.
“Kita harus mencari Ana sampai dapat, barulah kita pulang. Bagaimana?” tanya Beni.
“Siap.” jawab Eko.
“Bagaimana denganmu Ca, masih kuat?” tanya Beni.
“Masih dong.” kata Caca.
“Nah gitu dong, ayo kita tos dulu.” jawab Eko sambil mengulurkan tangannya.
Caca dan beni juga meletakan tangan mereka diatas tangan Eko. Kemudian mereka berteriak...
“SEMANGATTT!!!”
            Mungkin ini ujian awal untuk tim kita, untuk belajar mengatasi dan memecahkan misteri-misteri dari kehilangan Ana secara tiba-tiba. Iyakan?” kata Eko.
“Iya, betul.” ujar Beni.
Yasudah kita balik ke atas lagi.” ucap Caca.
“Oh ya, kalau ada yang kelelahan jangan dipaksakan ya. Bilang saja, biar kita istirahat dulu.” ujar Eko.
“Siap.” sahut Caca dan Beni.
Walau hati Eko gundah namun ia tetap semangat karena melihat tingkah konyol kedua temannya itu.
“Kalian merasa panas tidak?” tanya Beni.
“Iya panas sekali.” kata Caca.
“Berhubung aku baik hati, ini aku kasih angin sepoi-sepoi.” kata Beni.
Kemudian muncul bau menyengat. Caca dan Beni langsung menutup hidungnya.
“Aish... usil sekali kau ini.” ujar Beni.
“Iya... Menjauh kek sana. Bau sekali tahu?! kata Caca.
Eko hanya tertawa mendengar celotehan teman-temannya itu.
“Lihat! Aku menemukan sebuah HP” kata Beni.
“Bukan kah itu HP Ana?” kata Eko.
“Benar. Itu milik Ana.” kata Caca.
“Apa ini sebuah petunjuk? Bahwa Ana ada berada di sekitar sini?” kata Eko.
            “ANAA... ANAAA...” teriak Caca dan Beni.
Eko mengutak-atik HP Ana. Kemudian muncul foto screenshot. Ada gambar dan tulisan “Orang ini mencoba menyelinap HP Anda”, yang anehnya adalah gambar tersebut tidak lain gambar Ana sendiri.
Caca yang melihat Eko kebingungan kemudian menghampirinya.
“Ada apa Ko?” tanya Caca.
“Lihat Ca. “Orang ini mencoba menyelinap HP Anda”. ujar Eko sambil memperlihatkan kepada Ana.
“Sini aku lihat.” ujar Caca sembari mengambil HP Ana.
Caca mencoba melihat lebih dekat dan seksama. Hingga ia menemukan suatu keganjilan pada gambar tersebut.
“Lihat!” kata Caca.
Beni dan Eko mendekat.
            “Ini, di kiri Ana ada tangan seseorang, hanya kelihatan setengahnya. Tangan siapa itu?” kata Caca berlagak kaget.
            “Ya ampun... tangan siapa lagi kalau bukan tangannya orang jahat.” kata Beni.
            “Ya Allah... Ben, Ko, aku takut Ana kenapa-kenapa.” kata Caca.
            “ Hemm, kita tenangkan diri sebentar. Aku juga khawatir Ca.” sahut Eko.
            “Mau menghubunginya tapi tidak bisa, tidak ada sinyal. Bagaimana ini?” kata Caca.
            “Kalaupun ada sinyal, tetap tidak bisa Caaa. Kamu lupa? HP Ana kan ada di sini.” kata Beni nyengir.
            “Hhahaha Caca, Caca... Ada-ada saja.” ujar Eko.
            “Oiyaya hehe. Aku lupa guys.” ujar Caca ikut nyengir.
            Terdiam sesaat. Eko kembali melihat ke layar HP Ana.
Terkunci.
            “Kalian tahu apa password HP Ana?” tanya Beni.
“Tahu, tahu.” kata Caca dan Beni.
“Nama ayahnya kan?” kata Beni”
“Bukan. Tetapi nama Ibunya.” kata Caca mencoba mengecoh.
“Coba saja dulu Ben, Ca. Semoga password-nya tidak dirubah saja dari apa yang kalian ketahui.” tambah Eko.
“Aamiin.” kata Beni.
Tet, tet, tet, tet. Caca mencoba membuka dengan password yang ia sebutkan secara asal. Tentu saja password-nya salah. Kemudian giliran Beni menekan layar HP Ana memasukan password pembuka kunci. Tlingggg... Layar handphone Ana berhasil terbuka.
“Tapi untuk apa ini?” ujar Caca.
“Ca, Ca... Buka pikiran kita lebih luas lagi. Kan calon detektif haha.” sahut Beni.
“Siapa tahu ada petunjuk Ca.” kata Eko.
Eko mengutak-atik HP Ana. Dibukanya berbagai media sosial milik Ana. Dari BBM, Line, Facebook sampai Instagram yang padahal hanya berisikan foto-foto selfie Ana. Eko berpikir siapa tahu ketika muncul sinyal, Ana sempat mengabarkan kepada teman-temannya bagaimana keadaan terakhirnya. Namun tidak ada update-an terbaru dari Ana. Dibukanya lagi Memo atau catatan, pesan. Dari  banyak memo yang muncul, memo pada posisi teratas tercatat waktu 10.10 (4/4).
Eko tercengang dan membuat Caca dan Beni bergerak mendekat ke arah HP yang tengah di pegang Eko.
“Hari ini!!!” teriak Caca sadar.
Beni dan Eko yang terkaget-kaget dengan teriakan Caca menutup telinga mereka.
“Duh berisik sekali Kau ini, sampai sakit telingaku mendengar suara mu yang cempreng itu.” kata Beni kesal.
“Maaf-maaf, aku kaget sekali. Apa yang hari Ko?” kata Caca.
“Memo ini di tulis Ana satu jam yang lalu.” jawab Eko.
“Cepat buka Ko.” kata Beni.
“Iya-iya.” ujar Eko.
“Bismillah...” ucap Beni dan Eko bersamaan.
Kemudian Eko membuka memo tersebut. Caca dan Beni tengah menunggu dengan gugup.
10.10 am
Dear teman-temanku. Aku bingung kenapa ketika di perjalanan, kita terpisah begitu saja. Aku tidak menyalahkan kalian telah meniggalkan ku. Ketika menyadari bahwa ternayata di sini aku tertinggal sendiri, jujur saja aku sangat ketakuant. Hingga ada seseorang yang menghampiriku, mengajak berkenalan lalu menawarkan diri untuk mengantarku keluar dari sini, aku pun mengiyakannya.
HP Ana tiba-tiba saja mati.
“Agh... kenapa lagi ini? Belum selesai juga orang membacanya. Kenapa harus Low?” kata Beni kesal.
“Ya ampun, habis betrai kah?” kata Eko.
“Iya.” kata Beni.
“Sebentar.” kata Eko.
Eko mengeluarkan HP-nya, kemudian membuka cassing-nya dan mencabut betrai HPnya yang sama dengan betrai HP Ana.
“Cepat pasang.” kata Beni.
“Bismillah.” ujar Eko.
Eko memasang betrai kemudian menghidupkan kembali HP Ana. Terdiam beberapa saat. Setelah satu menit, menyalalah HP Ana.
“Lanjutkan membacanya.”ujar Beni.
Ok.” sahut Eko.
Sebelum aku mengikutinya, aku bertanya “mau kau bawa kemana? teman-temanku tengah menunggu ku.” Kata pemuda itu, cuaca di sini buruk. Sementara ia akan membawaku ke sebuah Villa. Vlila yang terletak tidak jauh dari sini. Jika kalian sudah menyebrang, sampai di Hutan Pinus, coba kalian temui aku di Villa tersebut. Beberapa meter setelah keluar dari Hutan Pinus.
Semoga kalian yang menemukan handphone ku dan semoga kita semua selalu dalam lindungan-Nya. Aamiin.
“Hemmm, jadi Ana sudah keluar dari sini dan meninggalkan kita. Namun mengapa kita tidak bertemu dengannya ketika di penyebrangan ya? Apa kalian yakin, orang yang membawa Ana adalah orang baik-baik?” tanya Caca.
“Kita jangan berpikir yang tidak-tidak dulu ya Ca, siapa tahu jalan keluar dari sini tidak hanya ada satu jalur.” kata Eko.
“Iya benar. Mungkin Ana keluar dari jalur lain. Semoga Ana baik-baik saja.” ujar Beni.
“Ayo, kita turun sekarang yuk?” kata Eko.
“Tos dulu kawan.” ujar Beni.
“TOSSS... SEMANGATTT!!!” teriak ketiganya.
Di tengah perjalanan.
“Mengapa perasaanku tidak enak ya?” ujar Caca.
“Kita jalan cepat saja yuk!” kata Beni.
Caca, Beni dan Eko sedikit mempercepat langkah mereka dari sebelumnya, sedikit banyaknya ada kekhawatiran di dalam hati masing-masing mereka terhadap Ana.
Di lain tempat.
“Kita sudah sampai. Ayo masuk.” kata pemuda yang membawa Ana.
 Sebenarnya Ana merasa tidak yakin dengan pemuda tersebut. Wajahnya aneh dan mencurigakan.
“Iya.” sahut Ana.
“Silahkan duduk dulu, kalau mau istirahat. Setengah jam lagi baru saya antar kamu ke permukaan jalan keluar. Kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk minta tolong kepada saya.” kata pemuda.
“Iya. Terima kasih kak.” kata Ana.
“Ah, santai saja. Satu lagi tidak usah memanggil saya kakak, sepertinya kita seumuran.” kata pemuda.
“Oh begitukah, ok.” kata Ana.
Kemudian pemuda tersebut ke ruang belakang. Ana merasa sekarang ia berada di suatu gedung tua bukan Villa seperti apa yang dikatakan pemuda sebelumnya.
Ada suara dari ruang belakang yang sedikit mengganggu pendengaran Ana. Diam-diam Ana mengintip apa yang sedang dilakukan pemuda tersebut. Ana bingung karena ia melihat ada senjata tajam di dekat pemuda itu.
Ana merinding, ketika ia melihat pemuda tersebut mulai membersihkan wajahnya. Pemuda tersebut seakan memakai topeng dengan rias wajah yang ia gunakan.
“Mengapa aku  merasa familiar dengan wajah pemuda itu?” gumam Ana.
Ana kembali melihat ke sekitarnya siapa tahu di dalam sana masih ada orang selain dirinya yang melihat ia sedang mengintip si pemuda. Ketika pandangannya kembali beralih ke ruang belakang, Ana dikejutkan dengan seseorang yang tiba-tiba menarik rambutnya.
Tidak lain itu adalah tangan kiri pemuda tadi dan dengan tangan kanannya mencekik leher Ana. Ana memelototinya sebentar.
“Kamu...” Ana kaget.
“Mengapa? Kamu mengenali saya?” sahutnya.
Ana masih terdiam. Percaya atau tidak pemuda tersebut merupakan kaka kelasnya sendiri.
“Jangan sok jadi pahlawan kalian, ingin membantu memecahkan kasus kematian Swara. Itu bukan tugas kalian!” kata pemuda.
“Ka Egi? Kami membuat tim ini untuk mencari penerangan untuk kasus tersebut ka.” kata Ana.
“Alah... Penerangan apaan?” kata Egi.
“Mengapa kaka melakukan ini kepada ku? Kaka takut kalau terbukti penyebab itu semua benar kaka?” kata Ana.
“Tidak!” kata Egi.
“Lalu mengapa?” kata Ana.
“Saya tidak bersalah! Saya hanya berpikir pada akhirnya kalian membuat pernyataan bahwa saya juga yang disalahkan dan itu membuat saya geram.”
“Tidak ka, niat ku dan teman-teman baik.” kata Ana.
Ana bersikeras mencoba lepas dari cengkraman Egi. Sedangkan di lain tempat, Caca, Beni dan Eko sedang kebingungan. Ketika keluar dari pulau Pinus, dari situ terlihat dua bangunan yang mereka bimbang manakah yang di maksud Villa tempat ada berteduh Ana. Satu berada sebelah kiri, satunya berada sebelah kanan. Sebelah kanan, terdapat bbangunan tua dan sebelah kiri nampak seperti sebuah Villa.
            “Guys, ada dua pilihan nih, kita ke kiri atau ke kanan?” kata Beni.
            “Kalau yang nampak seperti yang dikatakan Ana, sebuah Villa, berarti kita ke kiri. Setuju?” kata Eko.
            “Iya, setuju.” kata Caca.
            Lima menit kemudian. Eko, Caca, dan Beni tiba di Villa.
“Selamat sore. Apakah ada orang?” kata Eko.
“Permisi...” kata Beni.
“Langsung masuk saja.” ujar Caca.
Mereka pun langsung masuk. Setelah melihat dari atas ke bawah dan kiri ke kanan. Caca mulai bersuara.
“Cat merah semua, serem ya?” ujar Caca.
“Iya.” sahut Beni.
Eko yang nampak diam saja ternyata sedang tercengang, melihat tangannya penuh dengan darah kental. Caca yang juga baru saja menyadari hal tersebut tentu bertanya.
“Kamu kenapa, ko sampai berdarah seperti itu?” tanya Caca.
“Aku hanya menyentuh dinding Villa ini, ternyata...” ujar Eko yang masih bingung.
Lalu Beni mencoba melakukan hal seperti yang dilakukan Eko sebelumnya. Ia menempelkan tangannya ke dinding villa dan benar saja warna merah itu melekat di tangan Beni. Kemudian Caca menurutinya dan mencium tangannya.
“Ini bau darah geng.” ujar Caca.
            “Di sini ada toilet ga ya?” kata Eko.
“Tentu saja ada. Sini aku tunjukkan.” ujar Caca.
Eko yang sudah ingin sekali buang air kecil langsung menuju ke belakang. Caca yang menunjukkan arah toilet begitu saja seperti sudah tahu dengan tempat itu membuat Beni bingung. Tetapi Beni hanya diam.
Ketika Beni lengah, Caca menusuk Beni dari belakang dengan pisau tajam yang ia sembunyikan sebelumnya. Beni sempat berteriak meminta tolong untuk di lepaskan pisau yang menancap ke tubuhnya. Namun Eko tidak bisa menolong karena tidak dapat keluar dari toilet yang di kunci Caca dari luar. Caca pun langsung melarikan diri ke tempat dimana Egi berada.
Ketika Caca tiba di gedung tua, Egi belum saja menghabiskan nyawa Ana. Tanpa pikir panjang, Caca langsung menusuk perut Ana.
“Caca? Mengapa kau membunuhnya  disini?” kata Egi yang kaget melihat caca datang dan langsung menghabiskan nyawa Ana.
“Lalu?” sahut Caca.
“Seharusnya kita membunuhnya di Villa berdarah itu.” jawab Egi.
“Mengapa harus di sana?” tanya Caca.
“Kamu ini bagaimana sih? Sudah ku bilang, bertahun-tahun yang lalu pemilik asli Villa itu melakukan bunuh diri di Villa tersebut, dan orang-orang yang tahu sejarah itu pun meyakini Villa itu menjadi tempat yang angker. Dengan begitu orang akan beranggapan bahwa Beni dan Ana mati karena arwah gentayangan di dalamnya, dan kita tidak akan jadi buronan seperti kasus-kasus pembunuhan.” terang Egi.
Hingga pemilik setelahnya pun mencoba menjual villa itu namun tak pernah laku, berita keangkerannya membuat siapa pun takut memilikinya, bahkan mengunjunginya sekalipun dan sekarang ada siswa-siswi dari Bandung ini yang nekat memasuki villa itu.
“Bagaimana dengan Beni dan Eko? tanya Egi.
“Beni sudah ku habisi. Sedangkan Eko ku kunci di dalam toilet.” jawab Caca.
“Apa Eko tahu kau membunuh Beni?” tanya Egi.
“Umm sepertinya, karena Beni sempat berteriak.” kata Caca.
“Lalu kau tinggalkan Eko begitu saja? Bodoh!! Mengapa tidak kau habiskan saja sekalian? Biar tidak ada saksi. Kau mau masuk penjara hah?” kata Egi geram.
“Aku tidak peduli. Sekarang aku tahu bagaimana sensasi kenikmatan yang ditimbulkan dari membunuh seseorang. Sekarang aku bisa merasakan bahwa membunuh itu mendatangkan rasa kepuasan, suatu sensasi kenikmatan, suatu perasaan berkuasa yang tak terkalahkan. Dan lebih kuat dari candu apa pun, kenikmatan membunuh itu seketika menguasaiku, dan aku sudah ingin melanjutkan pembunuhan berikutnya.” ujar Caca.
“Berikutnya? Kau ingin membunuh Eko kan?” tanya Egi.
Caca menatap Egi dingin. Tatapan seperti ingin menerkam. Egi yang ketakutan, lari terbirit-birit.
Hari yang diangankan oleh Eko, hari yang indah dan damai dalam keheningan itu berubah menjadi malam paling mengerikan yang belum pernah dibayangkannya. Satu per satu temannya tewas terbunuh.
Caca kembali ke Villa tersebut. tiba di sana ia melihat Eko telah menjadi mayat. Mengerikan, ada keris yang menancap di badan Eko. Keris itu meninggalkan saksi. Lukisan jari manusia.
“Siapa yang membunuhnya?” gumam Caca.
Caca bingung. Ia pun berpikir jika lebih baik ia segera pergi dari tempat itu. Sementara semua pintu  terkunci dalam villa itu secara misterius tanpa bisa keluar. Caca panik untuk dapat menyelamatkan diri dan ketakutan jika tiba-tiba maut menghampirinya.
“Jadi benar apa yang dikatakan Egi? Bahwa Villa ini...” kata Caca.
Di dalam Villa, Caca hanya bisa menangis. Sudah satu hari ia terkurung dalam Villa tersebut. Kelaparan dan hampir mati kehausan, hingga Caca mengumpulkan air matanya sendiri untuk di minumnya. Walaupun ragu-ragu, namun apa boleh buat dan tidak ada cara lain.
Setelah meminum air matanya sendiri, Caca tewas. Di luar, Egi yang tengah mengintipnya sedari tadi sangat terkejut melihat Caca terkulai di lantai setelah melihat Caca meminum apa yang ada digelas di samping Caca.
Egi mendobrak pintu Villa. Namun ia tidak sanggup membukanya sendirian. Warga yang melihatnya pun segera membantu. Akhirnya pintu terbuka. Dipanggilnya polisi.
Beruntungnya hanya beberapa saat, polisi datang dan segera mengamankan mayat-mayat yang ada. Ketika akan berangkat kembali ke kota, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh bunyi sebuah ledakan kecil. Egi teringat dengan mayat Ana yang masih tergeletak di gedung tua. Ternyata ia tidak sampai hati meninggalkan jasad adik kelasnya itu. Ia pun mengakui semua kesalahannya bahwa dirinya dan Caca telah merencanakan pembunuhan ini. Egi juga meminta izin kepada pasukan yang akan membantunya membawa Caca dan teman-temannya ke kota untuk kembali ke gedung tua.
“Aku ingin kembali ke gedung tua untuk...” kata Egi.
“Buat apa?” sahut salah satu polisi muda.
“Mengambil jasad adik kelasku yang ada di sana.” kata Egi.
Kebetulan kebanyakan polisi yang datang adalah polisi muda sehingga sebagian  tidak terbiasa dengan ledakan-ledakan kecil sebelumnya, sebagian merasa ketakutan.
“Sudahlah biarkan saja.” jawab polisi muda yang bernama Tiyo td.
Pak Rendra, salah satu anggota penyelamat itu menjabat sebagi calon inspektur divisi satu bagian pembunuhan dan penganiayaan. Pak Rendra segera memerintahkan sebagian polisi untuk menemani Egi kembali ke Gedung tua dan ia segera membawa mayat Caca, Beni dan Eko untuk di selidiki.

Sampai jumpa di bagian selanjutnya..., bagian terakhir.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Menulis Buku Harian

To the point 1 saja. Singkat, Padat, dan jelas. GUE MABA. Ya, sekarang gue menyandang gelar MABA 2014 atau Mahasiwa Baru di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia – Univesitas Lambung Mangkurat. Gue lulus seleksi di kampus ini melalui jalur SNMPTN, yaitu pendaftaran melalui online dan berdasarkan nilai rapot sekolah dan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia menjadi pilihan pertama gue. Kedua 2 , Ilmu Komunikasi Fakultas FISIP eh btw, itu gue milihnya sesuai keinginan gue aja tertarik dimana, tau kalau itu fakultas fisip juga pas udah kuliah. Alhamdulillah lulusnya di pilihan pertama yang mana memang gue minati, menjadi guru bahasa Indonesia terinspirasi dari guru SMA gue Ibu Dwi dan Ibu Diana. Mereka kedua guru bahasa Indonesiaku ketika kelas X dan XII, menurutku mereka berdua adalah sosok misterius. Why? Karena mereka guru bahasa Indonesia. Nilai bahasa Indonesiaku tak pernah tinggi, selalu saja rendah, begitu juga dengan teman-temanku. Susah sek...

Kuasa-Mu

Taktiktaktiktatik... Gadis sedang asyik mengetik komputer , tiba-tba ia teringat akan sesuatu. Gadis melirik jam tangannya. “Ya Tuhan, sudah pukul lima sore. Aduh mana belum sholat Asar lagi bagaimana ini?” keluhnya. Gadis berbegas mengambil mantel yang bergantung di dinding kamarnya, segera ia pasang karena cuaca diluar dingin dan masih gerimis dirapikannya rambut sebentar lalu pergi meninggalkan rumah.             Gadis terus mempercepat laju motornya padahal jalan masih licin. Motornya hampir oleng karena menerobos lubang-lubang dijalan yang tertutup air hujan namun ia masih bisa mengendalikan agar tidak jatuh.   Gadis yang berada disekitar tiga meter dari lampu lalu lintas menambah kecepatan 100km/jam karena melihat detik-detik lampu hijau yang sebentar lagi akan berubah menjadi merah. 3... 2.. 1. Berbagai lat transportasi dari arah kiri pun segera melaju karena lampu sudah berubah warna menunjukkan jalan. Gpraaaa...

Perjalanan Pendek Mengesankan

       “ “ Aku bernyanyi untuk sahabat...Aku menari untuk sahabat....” Terdengar nada dering handphone Efa. Efa yang asik menonton tv pun segera berlari mengambil dan menekan tombol hijau pada layar handphone nya. Efa       : “Assalamualaikum, dengan siapa ya?” Mega   : “Ini aku Fa, Mega. Kamu ada di rumah tidak? Efa       : “Iya ada Ga, kenapa?” Mega   : “Aku mau main kesana.” Efa       : “Ada ko, datang aja.” Mega   : “ Ok, tungguin ya”. Beberapa menit kemudian tibalah Mega di rumah Efa. Mega   : “Kapan kamu mau ke Bukit?” Efa       : “Siang ini. Kamu sudah makan atau belum, kita makan yu?” Mega   : “Belum. Ayoo.” Beberapa saat usai makan siang. Tiba-tiba bumi bergemuruh, pertanda hujan akan datang. Mega            : “Fa, Aku pamit pulang ya sebelum hujan ...