Langsung ke konten utama

PENANTIAN BERHARGA


Sedikit rasa kecewa menyelimuti hati. Namun masih menancap di sini. Aku memeluk hatiku erat-erat. Tahun lalu, kudapatkan pengakuan dari seseorng yang spesial dalam hidupku. "Aku tidak sanggup lagi menutupi kekuranganku dihadapanmu," kata lelaki yg saat itu menjadi kekasihku. Hingga saat ini kalimat itu masih terngiang dibenakku.
Selama bertahun menjalani hubungan asmara dengannya, di mana saatnya aku membuka hati dan pikiran sejernih-jernihnya. Belajar berpikir dewasa dan mencoba serius. Mau tidak mau menerima resiko untuk tidak akan sebebas sebelum aku memiliki pasangan, menerima segala kekurangan kekasihku, memahami segala kesibukannya sebagai ketua BEM di kampusnya dan kegiatan lainnya. Ketika itu usia ku genap 20 tahun. Kukatakan pada diriku agar jangan suka mengeluh apalagi menuntut apapun kepadanya karena kita tidak butuh kesempurnaan jika kesederhanaan yang kita miliki sekarang bisa membuat kita membangun cinta bersama. Kusediakan ruang dan tempat untuknya singgah kemudian menetap untuk selamanya. Cukup satu untuk selamanya pikirku. Baru saja aku berbenah dan di situ dia memutus untuk pergi.
Apakah artinya kau tidak yakin dengan aku pilihanmu dan aku memilihmu? Mengapa tak kau pertahankan pilihanmu ini? Pertanyaan berulang yang setiap harinya kurenungi. Sejak itu aku mengalami penurunan selera makan, selera hidup sekalipun. Dia mencuri lengkungan indah dibibirku dan membawa separuh jiwaku. Yang bukan main aku kehilangan selera untuk membangun cinta lagi. Jangankan membangun, menjatuhkan cinta, mencium bebauannya pun aku tak berani. Tak lama setelah itu, tiba libur perkuliahan karena telah selesai masa-masa ujian akhir semester. Bukannya liburan, aku malah mengurung diri. Kesedihanku semankin menjadi-jadi. Membuat suasana hati semakin rapuh dan diri luntang lantung. Aku memang menerima keputusannya, tapi sulit untukku melalui hari-hari setelahnya.
Yang aku tahu, segala sesuatu kumulai dengannya dan aku belajar banyak darinya. Dengannya aku merasa sangat hidup, Aku menjadi kelihatan seperti remaja normal pada umumnya, yang memiliki kekasih. Hahaha sebelumnya? Aku lebih normal lagi.
Kegundahan kemarin mengantarkanku ke sebuah toko buku. Begitu banyak sampul buku yg menarik perhatianku. Lebih-lebih novel dari penulis favoritku Darwis Tere Liye. Aku menggemari kegiatan membaca. Namun koleksi buku ku tak sebanyak yg ada di toko ini. Jika dulu handphone kugunakan untuk kabar-kabari dengan orang terkasih sekarang ku manfaatkan untuk sekadar membaca qoutes buku dari penulis hebat, yg bukunya belum mampu ku beli. Tentunya qoutes yang membangun agar aku dapat bangkit dari keterpurukan. Dari situlah aku mendapat sedikit demi sedikit pencerahan.
Setiap akhir pekan aku pergi ke toko buku. Di toko buku sering kali kutemui lelaki yang postur tubuhnya mengingatkan ku pada Wanda. Tinggi, berisi dan tidak terlalu hitam jg tidak putih. Bedanya mungkin orang ini lebih tinggi 5cm. Tapi yg pasti itu bukan Wanda, karena toko buku bukanlah tempatnya, lelaki ini juga terlihat lebih rapi. Setiap kali aku melihatnya selalu saja ketika posisi tubuhnya membelakangiku. Melihatnya dari samping pun aku tak pernah hingga saat ini aku tak tahu wajahnya seperti apa.
Suatu ketika aku keluar dari toko buku tersebut, kulihat lelaki itu sedang mendorong motornya. Setelah ku amati ternyata bannya pecah. Masih terlihat oleh pandanganku. Ia melewati sebuah bengkel yg harusnya ia berhenti sampai disitu. Kemudian aku menaiki motorku dan menghampirinya.
"Assalamuaikum. Mas baru saja melewati bengkel, kenapa tidak berhenti, apa mas tidak melihatnya?" kataku sembari menengok wajahnya.
Bertatapan sejenak. Aku seperti pernah melihatnya.
"Dompet saya ketinggalan, makanya tidak berani ke bengkel," jawabnya.
"Oh. Kalau boleh saya membantu, ini saya ada rezeki lebih bisa dipakai untuk memperbaiki ban motor masnya," tawarku.
"Tidak usah repot-repot. Saya masih kuat mendorongnya," jawab lelaki yang selain postur tubuhnya yang mirip dengan Wanda ternyata wajahnya juga.
"Tidak, tidak merepotkan mas. Saya temani ke bengkel bagaimana?" tanya ku.
"Boleh deh, Saya pinjam uangnya sebentar ya... Saya sudah sms adik saya agar segera ke sini," jawabnya.
Lelaki itu melihat kearah bawaanku dan bertanya.
"Dari toko buku juga?"
“Iya,” jawabku.  Kemudian berbincang-bincang.
“Kalau boleh jujur saya seperti pernah melihat mas sebelumnya,” kataku.
“O ya?” katanya. Ponselnya berdering tanda panggilan masuk dan segera diangkatnya.
"Aku di bengkel Fauzi Jaya dekat toko buku langgananku, ok kutunggu,” tutupnya.

“Adikku sudah dekat sini, oh iya ini uangnya tidak jadi dipinjam ya, terimakasih banyak sebelumnya.”
“Oh begitu kah? Iya sama-sama. Kalau adiknya mas sudah dekat, mungkin masnya ada teman ngobrol dan saya mau pulang juga.”
“Iya tidak apa-apa duluan saj. Sekali lagi terimakasih ya.”
Ketika hendak menaiki motor, seketika jantungku berdegup lebih kencang seperti genderang mau perang. Satu setengah menit atau dua menit bertatapan dengan orang yang baru saja tba, hingga aku ingat siapa lelaki yang baru saja hendak kutinggalkan ini. Ternyata itu kakaknya wanda.
Kupaksakan bibir yang seketika kaku untuk tersenyum sebentar saja dan menundukan kepala. Akupun berlalu.
Top of Bottom o           Sesampainya di rumah, tak kuasa menahan air mata yang hendak gugur sedari tadi.  Jiwa ragaku gemetar. Kamarku tiba-tiba banjir air mata. Aku terharu. Aku dapat menatap mata teduh itu lagi, mampu menatapnya dengan senyum, walaupun senyuman itu kaku, seperti senyum yang ia berikan kepadaku. Aku rasa masih ia yang dinamakan cinta.
Jika menuruti nafsu, sudah kupeluk raga itu. Aku merindukannya.
Bertahun tak kutemui dirinya sejak putus. Kulihat dia semakin gagah dan bersih, sekali lagi aku terharu karena Tuhan mengabulkan doaku, akhirnya kulihat ia sehat wal’afiat. Alhamdulillah, mungkin bebannya telah berkurang selepas denganku. Tidak seperti ku yang katanya tambah kurus saja. Tak apa, yang penting sekarang aku bisa melihatnya dengan keadaan baik-baik saja.
Sebulan kemudian, kabar bahagia mewarnai berandaku.
“Sidang skripsi berjalan lancar dan memperoleh hasil yang memuaskan. Alhamdulillah bulan depan wisuda,” status facebooknya.
Alhamdulillah, batinku. Ingin sekali aku memberikan komentar selamat untuknya. Namun kalimat tersebut hanya bisa ku ketik kemudian ku hapus. Sekarang aku lebih memilih seperti ini, mencintai dengan diam. Indah? Ya. Tak ada yang bisa memprotesku.
Kemarin aku mendapat ajakan temanku Putri untuk datang ke wisuda teman kami yang juga temannya Wanda satu kampus. Entah apakah hari itu hari wisuda Wanda juga atau tidak. Harapan untuk bertemu pun sudah ku kubur. Aku hanya ingin bertemu dengannya lagi jika kami memang berjodoh.
Entah kenapa hati ku senang menggebu bisa berhadir ke wisuda temanku Rani. Terselip haru dan mulai gelisah. Kudapati beberapa teman Wanda yang perna Wanda kenalkan kepadaku. Hatiku berdebar-debar. Satu menit kemudian, kulihat siapa dibelakang punggung temannya itu, pada saat itu juga terlihatlah batang hidung Wanda lengkap dengan wajahnya yang berseri.
Kulihat di kirinya ada sosok wanita yang berjasa dalam hidupnya, ya itu ibu Wanda dan satu lagi, wanita muda nan cantik, entah siapa, aku tak mengenalinya sama sekali. Mataku mulai basah, ingin kubalikan badanku, dan kaki ini telah siap berlari. Namun, ia seperti mendekat. Halusinasi atau bukan? Aku seolah tak sadarkan diri. Setengah badanku berhasil bergerak membalik.
“Assalamualaikum, Tari,” ucap seseorang tepat di samping punggungku.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ...” (Qs. Al-Baqarah: 286)
Setelah terdiam sejenak mengingat kalam Allah tersebut akhirnya aku menjawab.
“Waalaikumsalam,” sahutku sambil berusaha menatap wajahnya.
Aku menambahkan kalimat selamat atas keberhasilannya. Kemudian mencium tangan ibunya dan memberanikan menjabat tangan wanita cantik disamping kanannya.
“Tari,” ucapku.
“Endang.”
Bodoh, mungkin wajahku tak bisa menyembunyikan rasa gelisah ini. Wanda menatap dan berucap.
“Kakak ipar.”
“Ooh.”
“Makasih ya sudah datang?”
“Oo...’”
“Bukan untuk menghadiri wisudaku ya?
“Sekalian saja Wan, kami datang untuk Nova, juga kamu.”
“Acaranya sudah selesai. Kamu ke sini naik apa? Mau bareng? Itu kakakku bawa mobil,” kata Wanda sambil menunjuk mobil yang terlihat di depan pagar kampus.
“Aku bawa motor ko, dengan Putri juga,”
“Motornya angkat ke atas mobil gih, biar baren,”
“Haha ga usahlah... Makasih Wan.”
Seminggu kemudian.
“Assalamualaikum. Tar, besok ada di rumah tidak?” kata orang diseberang pesawat telepon.
“Besok hari apa ya?”
“Minggu, Tari.”
“Oh, ada. Mengapa Wan? Tumben nelpon dan nanya begitu. Mau ke rumah?”
“Ya, ada yang ingin orang tuaku biacarakan.”
“Oo...” hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.
“Lama ya kita tidak bersua. Aku dapat tawaran kerja. Aku jadi ingin cepat-cepat nikah, ga nunggu mapan, kalau ada wanita yang mau menemani ku dari nol. Kenapa tidak langsung sajakan?”
Aku menghembuskan napas.
“Susah tidak ya mencari wanita seperti itu?”
Aku terdiam sejenak.
“Semoga dimudahkan dalam pencariannya, direstui niat baiknya, aamiin.”
“Aamiin. Tari mau sibuk?”
“Iya.”
“Kenapa tidak bilang? Yasudah aku tutup ya... Assalamualikum.”
“Waalaikumsalam.”
Tiba hari Minggu. Keluarga Wanda datang tepat seperti waktu yang telah disepakati. Setelah dipersilakan duduk oleh Ibu Tari, keluarga Wanda memulai pembicaraannya tanpa banyak basa-basi. Sementara itu, Tari ke dapur untuk membuat minuman.
Sekitar dua puluh menit, Tari kembali keruang tamu dengan membawa es jeruk. “Silakan diminum, seadanya ya...”
Ibu Wanda sumringah.
“Tidak apa-apa, sini duduk sayang,” ujar ibu Wanda.
“Wajah Ayah dan ibuku juga terlihat senang.”
“Ko pada senyam-senyum ya? Sudah bicaranya?” tanyaku.
“Sudah, mereka hanya menunggu keputusan dari kamu nak,” kata ibuku.
“Memangnya ada apa ini?” tanyaku heran.
“Mungkin ibuku sudah lelah berbicara, katakan saja YA kepada keluargaku.” kata Wanda sambil tertawa.
“Aku serius Wan..” kataku lagi.
“Baik anakku, calon istri Wanda yang cantik.” sahut ibu Wanda.
Aku terdiam dan mulai mengerti.
“Serius?” tanyaku.
“Apa? Ibu belum bicara.” ucap ibu Wanda dengan sinis kemudian senyum.
“Iya, Tari yang baik hatinya, maukah kamu menjadi ibu untuk anak-anakku?”
Oh sudah tibakah waktunya? batinku. Mataku berkaca-kaca. Semoga semuanya mengerti. Ada hal yang tak bisa diungkap kata.
“Mau membangun cinta bersamaku?” Wanda mempertegas niatnya.
“Membangun cinta di surga?”
“Insyaallah, Adinda.”
Aku menganggukan kepala, spontan keluarga kami bertepuk tangan dengan senyum sumringah. Keluarga “kami?” Ya Keluargaku dan keluarga Wanda. Keluargaku, akan menjadi keluarganya juga. Jadilah sekarang keluarga kami.
“Fabiayyi alaa ‘irabbikuma  tukadzibaann.” (maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?) Qs. Ar-Rahman.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Menulis Buku Harian

To the point 1 saja. Singkat, Padat, dan jelas. GUE MABA. Ya, sekarang gue menyandang gelar MABA 2014 atau Mahasiwa Baru di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia – Univesitas Lambung Mangkurat. Gue lulus seleksi di kampus ini melalui jalur SNMPTN, yaitu pendaftaran melalui online dan berdasarkan nilai rapot sekolah dan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia menjadi pilihan pertama gue. Kedua 2 , Ilmu Komunikasi Fakultas FISIP eh btw, itu gue milihnya sesuai keinginan gue aja tertarik dimana, tau kalau itu fakultas fisip juga pas udah kuliah. Alhamdulillah lulusnya di pilihan pertama yang mana memang gue minati, menjadi guru bahasa Indonesia terinspirasi dari guru SMA gue Ibu Dwi dan Ibu Diana. Mereka kedua guru bahasa Indonesiaku ketika kelas X dan XII, menurutku mereka berdua adalah sosok misterius. Why? Karena mereka guru bahasa Indonesia. Nilai bahasa Indonesiaku tak pernah tinggi, selalu saja rendah, begitu juga dengan teman-temanku. Susah sek...

Kuasa-Mu

Taktiktaktiktatik... Gadis sedang asyik mengetik komputer , tiba-tba ia teringat akan sesuatu. Gadis melirik jam tangannya. “Ya Tuhan, sudah pukul lima sore. Aduh mana belum sholat Asar lagi bagaimana ini?” keluhnya. Gadis berbegas mengambil mantel yang bergantung di dinding kamarnya, segera ia pasang karena cuaca diluar dingin dan masih gerimis dirapikannya rambut sebentar lalu pergi meninggalkan rumah.             Gadis terus mempercepat laju motornya padahal jalan masih licin. Motornya hampir oleng karena menerobos lubang-lubang dijalan yang tertutup air hujan namun ia masih bisa mengendalikan agar tidak jatuh.   Gadis yang berada disekitar tiga meter dari lampu lalu lintas menambah kecepatan 100km/jam karena melihat detik-detik lampu hijau yang sebentar lagi akan berubah menjadi merah. 3... 2.. 1. Berbagai lat transportasi dari arah kiri pun segera melaju karena lampu sudah berubah warna menunjukkan jalan. Gpraaaa...

Perjalanan Pendek Mengesankan

       “ “ Aku bernyanyi untuk sahabat...Aku menari untuk sahabat....” Terdengar nada dering handphone Efa. Efa yang asik menonton tv pun segera berlari mengambil dan menekan tombol hijau pada layar handphone nya. Efa       : “Assalamualaikum, dengan siapa ya?” Mega   : “Ini aku Fa, Mega. Kamu ada di rumah tidak? Efa       : “Iya ada Ga, kenapa?” Mega   : “Aku mau main kesana.” Efa       : “Ada ko, datang aja.” Mega   : “ Ok, tungguin ya”. Beberapa menit kemudian tibalah Mega di rumah Efa. Mega   : “Kapan kamu mau ke Bukit?” Efa       : “Siang ini. Kamu sudah makan atau belum, kita makan yu?” Mega   : “Belum. Ayoo.” Beberapa saat usai makan siang. Tiba-tiba bumi bergemuruh, pertanda hujan akan datang. Mega            : “Fa, Aku pamit pulang ya sebelum hujan ...