Langsung ke konten utama

ENIGMA bagian 3 (Ending)


Tiba di kota Bandung. Setelah memeriksa mayat, Pak Rendra berkata.
“Saya belum bisa memastikan penyebab kematian Caca apabila tidak dilakukan autopsi pada mayat.”
“Aku ingin cepat mengetahui kebenarannya. Kumohon Pak. Selidikilah kasus ini dengan sungguh-sungguh.” pinta Egi.
“Sabar ya. Kasus ini sulit, tapi akan saya selidiki dengan baik.” jawab Pak Rendra.
“Terima Kasih Pak.” jawab Egi.
 Sementara itu, Pak Rendra segera menanyakan informasi apapun yang terjadi sebelum hari kematian Caca dan Eko, dan semua tentang yang ada di vila.
“Bisa ceritakan padaku alasan kalian pergi ke vila terpencil ini?” kata Pak Rendra.
“Baik. Mereka pergi ke sini untuk refreshing serta untuk penyusunan strategi tim detektif mereka. Sebenarnya mereka tidak berniat pergi ke Villa, mereka hanya berniat menginap sehari semalaman  saja di Bukit Batas. Hanya saja saya yang memiliki rencana pembunuhan di villa itu, karena saya dan caca yang dianggap tersangka oleh ayah Swara atas kematian anaknya yang merupakan adikkelas kami. Begitulah fakta diketahui yang saya peroleh dari cerita Caca yang berpura-pura di tim detektif itu.
Bagaimana cara kalian kemari?” tanya Pak Rendra lagi.
“Kami pakai motor saja. Tuh, motornya ada di garasi. Silakan anda periksa sendiri kalau tidak percaya pada saya. Ketika ke Villa saya hanya membawa satu buah pisau yang telah digunakan Caca untuk menusuk Ana.” jawab Egi.
“Hei, tolong periksa! Terima kasih untuk informasinya, nak Egi.” kata Pak Rendra.
Yang diperintahkan pak Rendra memeriksa motor Egi telah tiba.
Mobilnya baik-baik saja?” lanjut Pak Richard.
“Mobilnya baik-baik saja. katanya.
“Kamu tidak mau mengakui sesuatu yang lain?” lanjut Pak Rendra.
Jangan sembarangan menuduhku yang tidak-tidak! Aku tidak suka difitnah!” kata Egi membela diri.
“Kamu jahat, Egi. Kamu jahat!! Kenapa kamu tega berbuat seperti itu? Apa hanya itu alasanmu? Tidak kusangka kamu sekeji ini. Di mana perasaanmu? Dimana rasa kesetiakawananmu?” ucap kaka Egi yang merupakan teman dekat Eko setiba di kantor polisi.
Aku benar-benar tidak membunuhnya Caca maupun Eko. Kumohon, percayalah kak.” kata Egi.
Coba kalian pikirkan lagi! Bagaimana Caca dan Eko bisa meninggal. Kalau belum bisa memecahkannya, jangan dulu menuduhku! Mana buktinya? Sembarangan sekali kalian. Polisi macam apa anda, Pak?” lanjut Egi.
“Terserah kamu mau bilang saya apa. Tapi tolong tenang dulu. Kita di sini membahas tentang temanmu juga.” sahut Pak Rendra.
Mana mungkin saya membunuh? Kami itu sahabat, sahabat tidak akan saling melukai. Apalagi sampai membunuh.” terang Egi lagi.
Bu Reni menemui Egi di kantor polisi. Egi yang masih berduka atas meninggalnya sahabatnya Caca, di minta Bu Reni menemani Ayah Swara yang baru saja keluar dari rumah sakit jiwa untuk ke luar negeri, bertujuan menemui dokter Richard. Meminta kejelasan sebab kematian Swara yang tidak sempat terpecahkan oleh tim detektif yang diketuai oleh Eko. Mau tidak mau Egi harus menemaninya sekaligus untuk membuktikan bahwa bukan ia penyebab kematian Swara.
“Nak Egi, kamu pulang saja dulu. Bersiaplah untuk pergi ke Amerika besok pagi. Polisi akan menindak lanjuti kasus ini.” kata Bu Reni sesampai di kantor Polisi.
“Tenanglah nak, kami akan bekerja sebaik mungkin.” lanjut pak Polisi.
“Mohon pertolongannya Pak.” sahut Egi.
“Terima kasih Pak.” lanjut Bu Reni.
Setelah keluar dari kantor polisi, bu Reni menanyakan kesedian Egi untuk menemani ayah Swara untuk pergi ke Amerika.
“Bagaimana nak, kamu mau membantu?” tanya bu Reni.
“Baik bu. Tetapi apakah ayah Swara sudah sembuh dari sakitnya?” tanya Egi.
“Sebenarnya ayah Swara tidak sakit jiwa. Dia hanya sterss. Kamu tidak usah takut nak, dia sudah berjanji agar mengesampingkan emosinya dulu.” terang Bu Reni.
Keesokan harinya. Pukul lima pagi.
Just say you wont let go, just say you wont let go... nada dering telepon genggam Egi.
“Selamat pagi nak, apa kamu sudah siap?” tanya Bu Reni.
“Sebentar lagi bu.” jawab Egi.
“Baiklah sekitar setengah jam lagi saya akan tiba di sana untuk menjemput nak Egi, kemudian ke rumah Swara untuk menjemput ayahnya. Ibu akan mengantarkan kalian ke Bandara.” kata Bu Reni.
“Iya terima kasih bu.” kata Egi.
Setengah jam kemudian Bu Reni tiba di depan rumah Egi. Ia membunyikan klakson mobilnya. Tidak lama Egi keluar dari rumah. Egi membuka pintu mobil bu Reni dan masuk ke dalamnya.
“Kita berangkat sekarang ya.” kata Bu Reni.
“Iya bu. Maaf merepotkan.” kata Egi.
“Tidak apa-apa nak.” lanjut Egi lagi.
Hening.
Sepuluh menit kemudian, Bu Reni dan Egi tiba di depan rumah Swara. Bu Reni membunyikan klakson mobilnya. Tidak lama setelah itu, ayah Swara keluar dari rumah. Egi membukakan pintu mobil bu Reni dan Ayah Swara segera masuk ke dalamnya.
“Kita berangkat sekarang ya pak.” kata Bu Reni.
“Iya bu. Maaf merepotkan, memakan waktu mengajar Anda.” kata Ayah Swara.
“Tidak apa-apa Pak, saya sudah meminta izin kepada Kepala sekolah dan telah diizinkan.” kata Bu Reni.
“Baguslah kalau begitu.” sahut Ayah Swara.

Tiba di Bandara, tidak hanya Egi dan ayah Swara yang keluar dari mobil. Namun Bu Reni juga ikut keluar untuk melepaskan kepergian Egi dan ayah Swara hingga pesawat naik ke udara.
Ketika menaiki pesawat, gerak-gerik ayah Swara yang terlihat canggung di sapa oleh Egi.
            “Kenapa Pak?” tanya Egi.
            “Saya belum pernah naik pesawat.” sahut Ayah Swara.
            “Tenang saja pak, aman kok.” kata Egi.
            “Ya.” jawab ayah Swara.
            Hening. Sedikitnya masih ada rasa marah di dalam hati ayah Swara pada Egi, namun tidak dengan Egi.
            “Jika sudah sampai di Amerika kita langsung ke Rumah Sakit saja ya?” kata ayah Swara.
            “Baik pak.”
            Setibanya di Amerika, Egi dan Ayah Swara langsung ke Rumah Sakit. Mereka telah tiba di lobi rumah sakit.
“Semoga saja dokter Richard masih ingat tentang kematian Swara.” gumam ayah Swara.
“Aamiin. Mari kita masuk pak.” sahut Egi.
Egi langsung bertanya di mana ruangan dokter Richard kepada staff yang ada di tempat. Katanya di Lantai tiga. Setelah itu Egi dan ayah Swara langsung menuju ruangan dokter Richard.
Setelah menemukan ruangan yang di maksud, Egi mengetuk pintunya. Tok, tok, tok...
“Permisi.” kata Egi.
“Ya, silakan masuk.” sahut orang yang ad di dalamnya.
Ternyata yang bersuata itu bukanlah dokter Richard, melainkan salah satu stafnya.
“Dokter Richardnya ada?” tanya ayah Swara”
“Kebetulan ini sedang jam istirahat dan dokternya sedang keluar. Kalau bapak mau menunggu di sini silakan. Kira-kira tidak lama lagi, biasanya usai jam istirahat dokter Richard langsung kembali ke tempat.” terang stafnya.
“Baik. Kami tunggu di sini saja.” jawab Egi.
Setengah jam menunggu, akhirnya yang ditunggu pun datang. Dokter Richard telah tiba di ruangannya.
“Ada tamu ya rupanya.” kata dokter Richard pada staf nya.
“Iya dok. Mereka telah menunggu bapak setengah jam yang lalu.” sahut staf nya itu.
“Oh. Dengan siapa ini?” kata dokter sambil menjabat tangan Egi dan ayah Swara.
“Saya Egi dan ini pak Anto, ayah dari teman saya Swara.”sahut Egi.
“Hemm dari mana ya? Ada apa mencari saya?” tanya dokter.
“Langsung saja ya dok. Kami dari Indonesia.” kata Egi.
“Wah jauh sekali.” sahut Dr.Richard.
“Ke sini sengaja menemui dokter untuk menanyakan sebab kematian siswi SMAN 13 Bandung yang bernama Swara. Dokter masih ingat?” kata Egi.
“Sebentar...” kata dokter sambil berpikir.
“Waktu itu di bawa oleh pihak sekolah ke Rumah Sakit Suaka Insan tempat dokter bekerja di Indonesia sebelum pindah ke sini. Betul?” kata Egi.
“Iya iya.” jawab dokter.                       
“Dan hasil penyelidikan dokter tersebut dokter serahkan kepada Bu Reni salah satu guru di sekolah SMAN 13 Bandung itu. Namun, berkas yang di serahkan oleh dokter kepada Bu Reni hilang begitu saja. Sudah di cari kemana-mana tapi tetap saja tidak ditemukan.” terang Egi.
“Oh sudah ke rumah sakitnya?” tanya dokter.
“Sudah dok, namun pegawai di sana tidak ada yang menyimpan arsip tersebut.” terang Egi.
“Ya ampun, jadi itu yang membuat kalian ke sini?” tanya dokter lagi.
“Iya dan pak Anto ini merupakan ayah dari Swara. Jadi dokter masih ingat?” kata Egi.
“Ya, masih. Sebentar saya cari data nya ya.” sahut dokter.
“Iya pak terima kasih sebelumnya.” ujar Egi.
“Maaf mengganggu waktu bapak.” tambah ayah Swara.
“Iya tidak apa-apa, semoga masih tersimpan. Namun setengah jam lagi saya ada rapat.” kata dokter.
“Oh semoga dok.” kata pak Anto.
Setengah jam berlalu. File yang di cari belum saja ditemukan.
“Mau menunggu saya satu jam lagi? Saya yakin file nya masih ada, tapi saya sedang terburu-buru. Kalau kalian mau bersabar kalian boleh di sini dulu sekaligus istirahat.” kata dokter.
“Iya dok.” kata Egi.
“Saya lapar, apa kamu tidak lapar?” tanya ayah Swara.
“Lapar pak, mau cari makan dulu?” tanya Egi.
“Ayo.” kata Pak Anto.
Usai makan kira-kira setengah jam, ketika di kasir Egi mendapat telepon dari staf dokter Richard.
“Selamat siang, dengan pak Egi?” tanya orang di seberang telepon.
“Iya.” sahut Egi.
“Saya staf dari dokter Richard, memberitahukan bahwa dokter sudah tiba di ruangan.”
“Baik kami segera ke sana.” jawab Egi.
Tiba di ruang dokter Richard.
“Dari mana pak?” tanya dokter Richard ramah.
“Habis cari makan dok.” jawab Pak Anto.
“Oh mari duduk.” kata dokter Richard mempersilakan.
“Alhamdulillah sementara saya menunggu kalian tiba di sini saya telah menemukan file yang kita cari.” lanjut dokter.
“Alhamdulillah.” ujar Egi.
“Jadi bagaimana dok?” tanya pak Anto.
“Begini...” kata dokter.
“Kenapa tidak dilanjutkan dok?” tanya Egi.
“Laptop saya mati.” sahut dokter lagi.
“Ya Tuhan, ada-ada saja cobaannya.” kata Egi.
“Baik saya jelaskan saja, kalau betrainya sudah terisi akan saya perlihatkan hasilnya ya?” kata dokter.
“Baik dok.” sahut Pak Anto.
“Kematian Swara di sebabkan oleh... Umm sebelumnya ini memang jarang sekali ditemukan, namun inilah hasil penyelidikan saya.” kata dokter.
“Katakan saja dok.” sahut Egi.
“Kematian tersebut disebabkan karena sebelum Swara meninggal, ia sempat meminum cairan bening yang tidak berwarna atau transaparan, cairan yang sesungguhnya berasal dari cairan darah. Meskipun berasal dari cairan darah, air ini tidak berwarna merah. Hal ini disebabkan karena ketika cairan darah masuk kedalam kelenjer mata, dinding sel sel yang dilalui bekerja untuk menyaring unsur warna merah yang terdapat dalam sel darah merah sehingga menghasilkan cairan bening yang disebut dengan air mata.”
 “Ya, walaupun perasaan menjadi lebih lega setelah mengeluarkan air mata, namun di dalam cairan air mata juga mengandung beberapa senyawa kimia yang berbahaya jika di konsumsi oleh manusia.” lajut dokter.
“Swara, kenapa kamu melakukan itu nak?” kata pak Anto.
“Begini pak, mungkin ketika MOS Swara lupa membawa air minum dari rumah. Air ledeng di sekolah sedang mati dan saya baru ingat, Beni pernah menceritakan kalau Swara sudah mulai pusing sebelum saya menyuruhnya lari keliling lapangan, setelah ia melihat Swara meminum cairan bening itu.” kata Egi.
“Ya, kira-kira seperti itu. Saya minta maaf dengan saya pindah ke Amerika bapak jadi lambat mengetahui penyebab kematian anak bapak. Saya juga sempat di telepon bu Reni beberapa kali, namun bertepatan saya sedang sibuk jadi tidak terangkat. Mungkin di sana terjadi perselisihan atau apa tentang terkaan-terkaan sebab kematian Swara. Saya betul-betul minta maaf dan turut berduka cita.” kata dokter.
Sabar ya pak, jika penyebab yang akhirnya kita ketahui kurang dapat di mengerti oleh kita, namun begitulah adanya. Ketika kita memiliki sesuatu, kita juga harus siap kehilangannya. Iyakan pak dokter? tanya Egi.
“Betul.”
“Kita harus mengikhlaskannya pak, yang terpenting bapak sudah berikhtiar, berusaha kembali menemui saya jauh-jauhke sini. Menempuh perjalanan yang tidak dekat dan tidak mudah  untuk dilalui.” lanjut dokter.
“Iya yang penting saya sudah mengetahuinya. Saya juga minta maaf kepadamu nak Egi karena menpat menuduh kamu penyebab kematian Swara.” kata Pak Anto.
“Iya saya sudah memaafkan bapak sebelum bapak meminta maaf.” kata Egi.
“Terima kasih nak.” kata Pak Anto.
 “Apa dokter Richard sedang sibuk?” tanya Egi.
“Tidak, ada apa gerangan?” sahut dokter.
“Saya mau cerita sedikit pak. Begini di Indonesia, kemarin ada teman saya yang meninggal setelah saya lihat dia meminum cairan bening. Apakah sama cairan bening tersebut dengan cairan bening penyebab kematian Swara? Dokter Richard kan seorang dokter yang ahli, nah bisakah dokter membantu saya lagi, untuk melakukan autopsi kepada teman saya itu?” terang Egi.
“Apa belum ada yang bisa memecahkannya sampai dini hari?” tanya dokter.
“Hasil autopsi pertama menyatakan korban meninggal karena kekurangan oksigen dalam darah.  Ini hasil autopsi tadi malam dan hari ini mungkin hasil diberikan ke penyidik.” katanya.
“Sebelumnya saya menelpon polisi yang berjanji menyelidikinya, namun tindak lanjut belum dilakukan olehnya. Kalau dokter berkenan, kita akan berangkat ke Indonesia besok pagi.” terang Egi.
“Iya bisa, mengingat kasus seperti ini masih sangat langka dan sulit diterima oleh keluarga korban jika tidak disertai dengan bukti yang nyata.” kata dokter.
“Wah dokter ini baik sekali, terima kasih atas kesediaannya dok.” kata Egi.
“Sama-sama Nak. Sudah seharusnya kita sesama ini diperintahkan untuk saling tolong-menolong.”
Tidak terasa sore pun beralih menjadi senja. Dokter yang melihat Egi dan Pak Anto datang dengn tas-tas yang dibawa, bertanya.
“Setelah tiba di Amerika, langsung ke sini ya Pak?” tanya dokter.
“Iya dok.” jawab pak Anto.
“Sudah punya rencana mau menginap di mana Nak, Pak?” tanya dokter lagi.
“Belum dok.” kata pak Anto jujur.
“Kalau begitu menginap di Apartemen saya saja, cukup luas kok.” kata dokter Richard.
“Apa tidak merepotkan dok?” tanya Egi.
“Oh, tidak. Biar gampang besok berangkat sama-sama ke Indonesia. Bagaimana?” kata dokter.
“Baik dok. Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya.” kata pak Anto.
“Santai saja Pak. Mari ikut mobil saya.” kata dokter sambil menggiring keluar ruangan.
“Apartemen saya tidak jauh dari sini, sebentar saja sampai ko. Bagaimana kalau kita mampir dulu ke restoran untuk makan malam?” tawar dokter Richard.
“Setuju.” sahut egi dan  Pak Anto bersamaan.
“Biar tidurnya nyenyak juga hehe.” kata dokter.
“Pak dokter bisa saja.” kata pak Anto.
Beberapa saat mereka tiba di Restoran.
“Bagaimana makanannya enak?” tanya dokter.
“Enak sekali. Betul Pak? sahut Egi sekaligus minta persetujuaan Pak Anto tentang pendapatnya.
“Betul.” sahut pak Anto.
“Mau tambah lagi?” kata dokter.
“Tidak Dok, terima kasih.” kata Egi yang makanannya telah habis.
“Yasudah, kalau begitu ayo kita berangkat.” kata dokter.
Benar, sepuluh menit saja mereka sampai di Apartemen Dr. Richard. Dokter membuka pintu Apartemennya dan mempersilakan Egi dan Pak Anto masuk.
“Anggap saja rumah sendiri ya, jangan sungkan jika ada apa-apa panggil saja saya. Kamar saya ada di sebelah kiri dan toiletnya ada di sebelah kanan.”
“Untuk kamar tidur Egi dan Pak Anto, itu.” tunjuk dokter.
“Baik Dok.” kata Egi.
“Hidupkan alarm masing-masing, agar besok tidak kesiangan.” pesan dokter.
“Haha tenang saja dok, akan saya siram jika nak Egi tidak saja bangun.” sahut Pak Anto.
Ketika tepat pukul empat pagi, alarm berbunyi. Egi dan Pak Anto bangun dan segera mandi. keluar dari kamar, mereka telah di tunggu dokter Richard di meja makan.
“Selamat pagi. Ayo kita makan dulu.” kata dokter Richard sambil tersenyum.
Egi dan pak Anto mendekat ke meja makan. Mereka makan dengan lahap karena masakan yang disajikan oleh doktr Richard begitu enak.
“Ini masakan dokter?” tanya Egi.
“Iya. Bagaimana?” tanya dokter lagi.
“Enak sekali dok. Mantan Koki ya?” tebak Pak Anto.
“Kok tahu?” kata dokter.
“Betul ya?” tanya pak Anto lagi.
“Iya, serius.” sahut dokter.
Ketiganya pun tertawa. Setelah makan, mereka bergegas meletakan tas mereka yang sudah di siapkan untuk di bawa ke mobil. Tidak lama mereka pun tiba di Bandara.
Tidak terasa mereka sampai di Indonesia. Egi menyarankan agar mereka beristirahat dulu satu malam baru menindak lanjuti tentang mayat Caca dan Eko.
Keesokkan harinya, penyelidikan pun dilakukan. Akhirnya diketahui kematian Caca di sebabkan karena kekurangan oksigen.
Sedangkan penyebab kematian Eko belum saja terpecahkan. Polisi bingung dengan lukisan  jari manusia itu, namun tidak ada sidik jari di keris yang menancap pada tubuh Eko. Warga juga tidak ada yang mampu memahami rahasia di balik tubuh Eko. Kendala lain adalah tidak ada CCTV di sana.
Akhirnya mereka harus mempercayai bahwa Villa itu angker sebagaimana cerita penduduk di sekitar Villa tersebut. Mau tidak mau kasus pun dianggap selesai.
Pemakaman pun harus segera dilaksanakan karena sudah tertunda beberapa hari setelah kematian Caca dan Eko. Rencananya pemakaman di lakukan pada besok pagi.
Pagi-pagi sekali bu Reni menjemput Egi dan ayah Swara untuk pergi bersama ke pemakaman Caca, Beni dan Eko. Bu Reni berusaha menghibur dan menguatkan Egi maupun ayah Swara yang masih dalam keadaan berduka.
Setelah memasuki mobil bu Reni, terjadilah perbincangan kecil diantara ketiganya.
“Selama ini Bu Reni baik sekali kepada saya.” kata ayah Swara
“Betul. Tidak ada bu guru sebaik Bu Reni.” kata Egi.
“Ah kalian ini bisa saja.” kata bu Reni.
Pertama mereka ke pemakaman Swara. Usai dari pemakaman Swara, barulah mereka ke pemakaman Beni. Ketika di mobil menuju pemakaman Beni, Egi mulai membuka suara.
“Saya boleh cerita?” tanya Egi.
“Cerita apa nak? Ayo ceritakan saja.” sahut bu Reni.
“Tadi malam saya memimpikan Swara. Dia tersenyum pada saya Bu, Pak.” Menurut kalian apa arti dari mimpi tersebut?” kata Egi.
“Kalau menurut ibu, dia sudah tenang disana, dia tidak lagi diperdebatkan. Dia tidak marah pada mu nak.” kata Bu Reni.
“Alhamdulillah.” kata Egi.
“Sekali lagi maafkan saya nak Egi.”
“Sudahlah pak, semuanya sudah selesai. Saya senang di temui Swara tadi malam dengan senyum manisnya.” sahut Egi.
“Ngomong-ngomong senyum bu Reni juga tak kalah manis kan?” tanya ayah Swara meminta persetujuan Egi untuk merayu bu Reni.
“Ga kalah ko. Oh, rupanya paman memendam rasa suka ya pada bu guru saya yang cantik ini?” kata Egi.
Bu Reni yang tersipu malu hanya berdiam diri.
“Bolehkah saya bertanya sesuatu?” kata ayah Swara pada bu Reni.
“Boleh, tapi jangan yang sulit-sulit ya Pak?!” sahut Bu Reni.
“Apa ibu sudah memiliki pasangan?” tanya ayah Swara.
“Jujur saja belum Pak.” sahut Bu Reni.
Egi pun menyanyikan lagu dari band Kotak-Pelabuhan terakhir.
Dengarlah sayangku
kaulah pelabuhan terakhirku
takkan bisa ku jalani hari
tanpa diri mu oo..
 “Hey anak muda, bisa diam?” kata bu Reni semakin malu.
Ku sadar ku tak punya apa-apa
selain berbenah karna rasa cinta
ku akui pada tak berdaya
hatiku menyerah
selamat tinggal duka
sambut bahagia untuk selamanya...” lanjut pak Anto.
“Sudahlah terus terang saja Pak.” goda Egi.
“Baik. Saya kagum dan jatuh cinta dengan kebaikan dan kelembutan tutur Bu Reni. Sudah lama juga saya tidak mempunya pendamping, apakah ibu mau menghabiskan sisa hidup bersama saya?” tawar Pak Anto.
“Di jawab sekarangkah?” tanya bu Reni.
“Terserah bu Reni. Kalau ibu perlu waktu untuk menjawabnya saya akan sabar menunggu. Namun alangkah senangnya saya jika di jawab sekarang. Agar saya bisa tidur nyenyak malam ini.” kata pak Anto.
“Terima, terima, terima.” ujar Egi.
“Kasih saya waktu ya Pak?”
“Berapa lama?” tanya Pak Anto.
“Sehari semalaman saja.” jawab bu Reni.
“Baiklah, saya berharap keputusan yang ibu buat besok adalah kabar gembira buat saya.” kata pak Anto.
“Ini kita langsung pulangkan Pak?” tanya Bu Reni.
“Iya. Bu Reni sudah Capek ya?” sahut pak Anto.
“Iya Pak.” jawab Bu Reni.
 Sesampai di rumah, sebelum tidur bu Reni sempat memikirkan tentang tawaran Pak Anto untuk menikah dengannya. Namun ia memikirkan bagaimana pendapat Swara jika ayahnya menikah lagi dengan orang lain. Apakah Swara menyetujui hal tersebut? tanya bu Reni dalam benaknya. Tidak lama kemudian bu Reni terlelap. Dalam tidurnya dia ditemui oleh Swara.
Singkatnya, Swara menitipkan ayahnya pada Bu Reni. Dia sangat berteriman kasih jika Bu Reni mau merawat dan menemani hari-hari ayahnya.
Pagi yang cerah. Bu Reni bangun tidur dengan tersenyum. Ia bergegas mandi lalu pergi untuk menemui pak Anto.
Setelah sampai di depan rumah pak Anto, bu Reni mengetuk pintu dengan sedikit gugup.
“(Tok, tok, tok) Assalamualaikum.” kata Bu Reni.
“Waalaikumsalam.” sahut Pak Anto lalu membuka pintu.
“Oh bu Reni, mari masuk.” sambut pak Anto bersemangat.
“Saya akan menjawabnya hari ini dan Swara lah yang membuat saya semakin yakin.” kata Bu Reni.
“Maksudnya?” tanya Pak Anto bingung.
“Tadi malam sebelum tidur, saya sempat memikirkan tentang tawaran Pak Anto kemarin. Saya memikirkan bagaimana pendapat Swara jika ayahnya menikah lagi dengan saya. Apakah Swara merestui kita?” kata Bu Reni.
“Hemm...” gumam pak Anto sambil mendengarkan dengan seksama.
“Tidak lama kemudian saya terlelap dan berlanjut ke dalam mimpi. Dalam tidur, saya ditemui oleh Swara. Swara berkata ia berterima kasih dan ikut senang jika saya menerima tawaran Pak Anto.” kata bu Reni lalu menghembuskan nafas sebentar.
“Jadi?” tanya Pak Anto tidak sabar.
“Saya maumenikah dengan Bapak.” kata bu Reni.
“Alhamdulillah. Kalau begitu, jangan panggil ayah Swara Bapak lagi, tapi Mas begitu Bu.” sahut Egi keluar dari kamar yang ternyata tadi malam menginap di rumah pak Anto.
“Akhirnya saya mempunyai pendamping hidup lagi, semoga ini yang terakhir.” kata pak Anto.
Dengarlah sayangku
kaulah pelabuhan terakhirku
takkan bisa ku jalani hari
tanpa diri mu oo..
Pak Anto dan Egi menyanyi bersama dengan bahagia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Menulis Buku Harian

To the point 1 saja. Singkat, Padat, dan jelas. GUE MABA. Ya, sekarang gue menyandang gelar MABA 2014 atau Mahasiwa Baru di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia – Univesitas Lambung Mangkurat. Gue lulus seleksi di kampus ini melalui jalur SNMPTN, yaitu pendaftaran melalui online dan berdasarkan nilai rapot sekolah dan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia menjadi pilihan pertama gue. Kedua 2 , Ilmu Komunikasi Fakultas FISIP eh btw, itu gue milihnya sesuai keinginan gue aja tertarik dimana, tau kalau itu fakultas fisip juga pas udah kuliah. Alhamdulillah lulusnya di pilihan pertama yang mana memang gue minati, menjadi guru bahasa Indonesia terinspirasi dari guru SMA gue Ibu Dwi dan Ibu Diana. Mereka kedua guru bahasa Indonesiaku ketika kelas X dan XII, menurutku mereka berdua adalah sosok misterius. Why? Karena mereka guru bahasa Indonesia. Nilai bahasa Indonesiaku tak pernah tinggi, selalu saja rendah, begitu juga dengan teman-temanku. Susah sek...

Kuasa-Mu

Taktiktaktiktatik... Gadis sedang asyik mengetik komputer , tiba-tba ia teringat akan sesuatu. Gadis melirik jam tangannya. “Ya Tuhan, sudah pukul lima sore. Aduh mana belum sholat Asar lagi bagaimana ini?” keluhnya. Gadis berbegas mengambil mantel yang bergantung di dinding kamarnya, segera ia pasang karena cuaca diluar dingin dan masih gerimis dirapikannya rambut sebentar lalu pergi meninggalkan rumah.             Gadis terus mempercepat laju motornya padahal jalan masih licin. Motornya hampir oleng karena menerobos lubang-lubang dijalan yang tertutup air hujan namun ia masih bisa mengendalikan agar tidak jatuh.   Gadis yang berada disekitar tiga meter dari lampu lalu lintas menambah kecepatan 100km/jam karena melihat detik-detik lampu hijau yang sebentar lagi akan berubah menjadi merah. 3... 2.. 1. Berbagai lat transportasi dari arah kiri pun segera melaju karena lampu sudah berubah warna menunjukkan jalan. Gpraaaa...

Perjalanan Pendek Mengesankan

       “ “ Aku bernyanyi untuk sahabat...Aku menari untuk sahabat....” Terdengar nada dering handphone Efa. Efa yang asik menonton tv pun segera berlari mengambil dan menekan tombol hijau pada layar handphone nya. Efa       : “Assalamualaikum, dengan siapa ya?” Mega   : “Ini aku Fa, Mega. Kamu ada di rumah tidak? Efa       : “Iya ada Ga, kenapa?” Mega   : “Aku mau main kesana.” Efa       : “Ada ko, datang aja.” Mega   : “ Ok, tungguin ya”. Beberapa menit kemudian tibalah Mega di rumah Efa. Mega   : “Kapan kamu mau ke Bukit?” Efa       : “Siang ini. Kamu sudah makan atau belum, kita makan yu?” Mega   : “Belum. Ayoo.” Beberapa saat usai makan siang. Tiba-tiba bumi bergemuruh, pertanda hujan akan datang. Mega            : “Fa, Aku pamit pulang ya sebelum hujan ...