Tiba
di kota Bandung. Setelah memeriksa mayat, Pak Rendra berkata.
“Saya
belum bisa memastikan penyebab kematian Caca apabila tidak dilakukan autopsi
pada mayat.”
“Aku
ingin cepat mengetahui kebenarannya. Kumohon Pak. Selidikilah kasus ini dengan
sungguh-sungguh.” pinta Egi.
“Sabar
ya. Kasus ini sulit, tapi akan saya selidiki dengan baik.” jawab Pak Rendra.
“Terima
Kasih Pak.” jawab Egi.
Sementara itu, Pak Rendra segera menanyakan
informasi apapun yang terjadi sebelum hari kematian Caca dan Eko, dan semua
tentang yang ada di vila.
“Bisa ceritakan
padaku alasan kalian pergi ke vila terpencil ini?” kata Pak Rendra.
“Baik. Mereka pergi ke sini untuk
refreshing serta untuk penyusunan
strategi tim detektif mereka. Sebenarnya mereka tidak berniat pergi ke Villa, mereka hanya berniat menginap sehari
semalaman saja di Bukit Batas. Hanya saja saya yang memiliki rencana pembunuhan di
villa itu, karena saya dan caca yang dianggap tersangka oleh ayah Swara atas
kematian anaknya yang merupakan adikkelas kami. Begitulah fakta diketahui yang
saya peroleh dari cerita Caca yang berpura-pura di tim detektif itu.
“Bagaimana
cara kalian
kemari?” tanya Pak Rendra
lagi.
“Kami pakai motor saja. Tuh, motornya ada di garasi.
Silakan anda periksa sendiri kalau tidak percaya pada saya. Ketika ke Villa saya hanya membawa satu buah pisau yang
telah digunakan Caca untuk menusuk Ana.”
jawab Egi.
“Hei, tolong
periksa! Terima kasih untuk informasinya, nak
Egi.” kata Pak
Rendra.
Yang
diperintahkan pak Rendra memeriksa motor Egi telah tiba.
“Mobilnya
baik-baik saja?” lanjut Pak Richard.
“Mobilnya
baik-baik saja. katanya.
“Kamu tidak mau
mengakui sesuatu yang lain?” lanjut Pak Rendra.
“Jangan
sembarangan menuduhku yang tidak-tidak! Aku tidak suka difitnah!” kata Egi membela diri.
“Kamu jahat, Egi. Kamu jahat!! Kenapa
kamu tega berbuat seperti itu? Apa hanya itu alasanmu? Tidak kusangka kamu sekeji
ini. Di mana perasaanmu? Dimana rasa kesetiakawananmu?” ucap kaka Egi yang merupakan teman dekat Eko setiba di kantor
polisi.
“Aku
benar-benar tidak membunuhnya Caca maupun
Eko. Kumohon, percayalah kak.” kata Egi.
”Coba kalian pikirkan lagi! Bagaimana Caca dan Eko bisa meninggal. Kalau belum bisa memecahkannya, jangan dulu
menuduhku! Mana buktinya? Sembarangan sekali kalian. Polisi macam apa anda,
Pak?” lanjut Egi.
“Terserah kamu mau bilang saya apa. Tapi tolong tenang dulu. Kita di
sini membahas tentang temanmu juga.” sahut Pak Rendra.
“Mana
mungkin saya membunuh? Kami itu sahabat, sahabat tidak akan
saling melukai. Apalagi sampai membunuh.” terang Egi lagi.
Bu Reni menemui Egi di kantor polisi. Egi yang masih berduka atas meninggalnya sahabatnya Caca, di minta
Bu Reni menemani Ayah Swara yang baru saja keluar dari rumah sakit jiwa untuk ke
luar negeri, bertujuan menemui dokter Richard. Meminta kejelasan sebab kematian
Swara yang tidak sempat terpecahkan oleh tim detektif yang diketuai oleh Eko.
Mau tidak mau Egi harus menemaninya sekaligus untuk membuktikan bahwa bukan ia
penyebab kematian Swara.
“Nak Egi, kamu pulang saja dulu. Bersiaplah untuk
pergi ke Amerika besok pagi. Polisi akan menindak lanjuti kasus ini.” kata Bu
Reni sesampai di kantor Polisi.
“Tenanglah nak, kami akan bekerja sebaik
mungkin.” lanjut pak Polisi.
“Mohon pertolongannya Pak.” sahut Egi.
“Terima kasih Pak.” lanjut Bu Reni.
Setelah keluar dari kantor polisi, bu Reni
menanyakan kesedian Egi untuk menemani ayah Swara untuk pergi ke Amerika.
“Bagaimana nak, kamu mau membantu?” tanya bu
Reni.
“Baik bu. Tetapi apakah ayah Swara sudah sembuh
dari sakitnya?” tanya Egi.
“Sebenarnya
ayah Swara tidak sakit jiwa. Dia hanya sterss. Kamu tidak usah takut nak, dia
sudah berjanji agar mengesampingkan emosinya dulu.” terang Bu Reni.
Keesokan
harinya. Pukul lima pagi.
Just say you wont let go, just say you wont let go... nada dering telepon genggam Egi.
“Selamat
pagi nak, apa kamu sudah siap?” tanya Bu Reni.
“Sebentar
lagi bu.” jawab Egi.
“Baiklah
sekitar setengah jam lagi saya akan tiba di sana untuk menjemput nak Egi,
kemudian ke rumah Swara untuk menjemput ayahnya. Ibu akan mengantarkan kalian
ke Bandara.” kata Bu Reni.
“Iya
terima kasih bu.” kata Egi.
Setengah
jam kemudian Bu Reni tiba di depan rumah Egi. Ia membunyikan klakson mobilnya.
Tidak lama Egi keluar dari rumah. Egi membuka pintu mobil bu Reni dan masuk ke
dalamnya.
“Kita
berangkat sekarang ya.” kata Bu Reni.
“Iya
bu. Maaf merepotkan.” kata Egi.
“Tidak
apa-apa nak.” lanjut Egi lagi.
Hening.
Sepuluh
menit kemudian, Bu Reni dan Egi tiba di depan rumah Swara. Bu Reni membunyikan
klakson mobilnya. Tidak lama setelah itu, ayah Swara keluar dari rumah. Egi
membukakan pintu mobil bu Reni dan Ayah Swara segera masuk ke dalamnya.
“Kita
berangkat sekarang ya pak.” kata Bu Reni.
“Iya
bu. Maaf merepotkan, memakan waktu mengajar Anda.” kata Ayah Swara.
“Tidak
apa-apa Pak, saya sudah meminta izin kepada Kepala sekolah dan telah
diizinkan.” kata Bu Reni.
“Baguslah
kalau begitu.” sahut Ayah Swara.
Tiba
di Bandara, tidak hanya Egi dan ayah Swara yang keluar dari mobil. Namun Bu
Reni juga ikut keluar untuk melepaskan kepergian Egi dan ayah Swara hingga
pesawat naik ke udara.
Ketika
menaiki pesawat, gerak-gerik ayah Swara yang terlihat canggung di sapa oleh
Egi.
“Kenapa Pak?” tanya Egi.
“Saya belum pernah naik pesawat.”
sahut Ayah Swara.
“Tenang saja pak, aman kok.” kata
Egi.
“Ya.” jawab ayah Swara.
Hening. Sedikitnya masih ada rasa
marah di dalam hati ayah Swara pada Egi, namun tidak dengan Egi.
“Jika sudah sampai di Amerika kita
langsung ke Rumah Sakit saja ya?” kata ayah Swara.
“Baik pak.”
Setibanya di Amerika, Egi dan Ayah
Swara langsung ke Rumah Sakit. Mereka telah tiba di lobi rumah sakit.
“Semoga
saja dokter Richard masih ingat tentang kematian Swara.” gumam ayah Swara.
“Aamiin.
Mari kita masuk pak.” sahut Egi.
Egi
langsung bertanya di mana ruangan dokter Richard kepada staff yang ada di
tempat. Katanya di Lantai tiga. Setelah itu Egi dan ayah Swara langsung menuju
ruangan dokter Richard.
Setelah
menemukan ruangan yang di maksud, Egi mengetuk pintunya. Tok, tok, tok...
“Permisi.”
kata Egi.
“Ya,
silakan masuk.” sahut orang yang ad di dalamnya.
Ternyata
yang bersuata itu bukanlah dokter Richard, melainkan salah satu stafnya.
“Dokter
Richardnya ada?” tanya ayah Swara”
“Kebetulan
ini sedang jam istirahat dan dokternya sedang keluar. Kalau bapak mau menunggu di
sini silakan. Kira-kira tidak lama lagi, biasanya usai jam istirahat dokter
Richard langsung kembali ke tempat.” terang stafnya.
“Baik.
Kami tunggu di sini saja.” jawab Egi.
Setengah
jam menunggu, akhirnya yang ditunggu pun datang. Dokter Richard telah tiba di
ruangannya.
“Ada
tamu ya rupanya.” kata dokter Richard pada staf nya.
“Iya
dok. Mereka telah menunggu bapak setengah jam yang lalu.” sahut staf nya itu.
“Oh.
Dengan siapa ini?” kata dokter sambil menjabat tangan Egi dan ayah Swara.
“Saya
Egi dan ini pak Anto, ayah dari teman saya Swara.”sahut Egi.
“Hemm
dari mana ya? Ada apa mencari saya?” tanya dokter.
“Langsung
saja ya dok. Kami dari Indonesia.” kata Egi.
“Wah
jauh sekali.” sahut Dr.Richard.
“Ke
sini sengaja menemui dokter untuk menanyakan sebab kematian siswi SMAN 13
Bandung yang bernama Swara. Dokter masih ingat?” kata Egi.
“Sebentar...”
kata dokter sambil berpikir.
“Waktu
itu di bawa oleh pihak sekolah ke Rumah Sakit Suaka Insan tempat dokter bekerja
di Indonesia sebelum pindah ke sini. Betul?” kata Egi.
“Iya iya.” jawab dokter.
“Dan
hasil penyelidikan dokter tersebut dokter serahkan kepada Bu Reni salah satu
guru di sekolah SMAN 13 Bandung itu. Namun, berkas yang di serahkan oleh dokter
kepada Bu Reni hilang begitu saja. Sudah di cari kemana-mana tapi tetap saja
tidak ditemukan.” terang Egi.
“Oh
sudah ke rumah sakitnya?” tanya dokter.
“Sudah
dok, namun pegawai di sana tidak ada yang menyimpan arsip tersebut.” terang
Egi.
“Ya
ampun, jadi itu yang membuat kalian ke sini?” tanya dokter lagi.
“Iya
dan pak Anto ini merupakan ayah dari Swara. Jadi dokter masih ingat?” kata Egi.
“Ya,
masih. Sebentar saya cari data nya ya.” sahut dokter.
“Iya
pak terima kasih sebelumnya.” ujar Egi.
“Maaf
mengganggu waktu bapak.” tambah ayah Swara.
“Iya
tidak apa-apa, semoga masih tersimpan. Namun setengah jam lagi saya ada rapat.”
kata dokter.
“Oh
semoga dok.” kata pak Anto.
Setengah
jam berlalu. File yang di cari belum saja ditemukan.
“Mau
menunggu saya satu jam lagi? Saya yakin file nya masih ada, tapi saya sedang terburu-buru.
Kalau kalian mau bersabar kalian boleh di sini dulu sekaligus istirahat.” kata
dokter.
“Iya
dok.” kata Egi.
“Saya
lapar, apa kamu tidak lapar?” tanya ayah Swara.
“Lapar
pak, mau cari makan dulu?” tanya Egi.
“Ayo.”
kata Pak Anto.
Usai
makan kira-kira setengah jam, ketika di kasir Egi mendapat telepon dari staf
dokter Richard.
“Selamat
siang, dengan pak Egi?” tanya orang di seberang telepon.
“Iya.”
sahut Egi.
“Saya
staf dari dokter Richard, memberitahukan bahwa dokter sudah tiba di ruangan.”
“Baik
kami segera ke sana.” jawab Egi.
Tiba
di ruang dokter Richard.
“Dari
mana pak?” tanya dokter Richard ramah.
“Habis
cari makan dok.” jawab Pak Anto.
“Oh
mari duduk.” kata dokter Richard mempersilakan.
“Alhamdulillah
sementara saya menunggu kalian tiba di sini saya telah menemukan file yang kita
cari.” lanjut dokter.
“Alhamdulillah.”
ujar Egi.
“Jadi
bagaimana dok?” tanya pak Anto.
“Begini...”
kata dokter.
“Kenapa
tidak dilanjutkan dok?” tanya Egi.
“Laptop
saya mati.” sahut dokter lagi.
“Ya
Tuhan, ada-ada saja cobaannya.” kata Egi.
“Baik
saya jelaskan saja, kalau betrainya sudah terisi akan saya perlihatkan hasilnya
ya?” kata dokter.
“Baik
dok.” sahut Pak Anto.
“Kematian
Swara di sebabkan oleh... Umm sebelumnya ini memang jarang sekali ditemukan,
namun inilah hasil penyelidikan saya.” kata dokter.
“Katakan
saja dok.” sahut Egi.
“Kematian
tersebut disebabkan karena sebelum Swara meninggal, ia sempat meminum cairan
bening yang tidak berwarna atau transaparan, cairan yang sesungguhnya berasal
dari cairan darah. Meskipun berasal dari cairan darah, air ini tidak berwarna
merah. Hal ini disebabkan karena ketika cairan darah masuk kedalam kelenjer
mata, dinding sel sel yang dilalui bekerja untuk menyaring unsur warna merah
yang terdapat dalam sel darah merah sehingga menghasilkan cairan bening yang
disebut dengan air mata.”
“Ya, walaupun perasaan menjadi lebih lega
setelah mengeluarkan air mata, namun di dalam cairan air mata juga mengandung
beberapa senyawa kimia yang berbahaya jika di konsumsi oleh manusia.” lajut
dokter.
“Swara,
kenapa kamu melakukan itu nak?” kata pak Anto.
“Begini
pak, mungkin ketika MOS Swara lupa membawa air minum dari rumah. Air ledeng di
sekolah sedang mati dan saya baru ingat, Beni pernah menceritakan kalau Swara
sudah mulai pusing sebelum saya menyuruhnya lari keliling lapangan, setelah ia
melihat Swara meminum cairan bening itu.” kata Egi.
“Ya,
kira-kira seperti itu. Saya minta maaf dengan saya pindah ke Amerika bapak jadi
lambat mengetahui penyebab kematian anak bapak. Saya juga sempat di telepon bu
Reni beberapa kali, namun bertepatan saya sedang sibuk jadi tidak terangkat.
Mungkin di sana terjadi perselisihan atau apa tentang terkaan-terkaan sebab
kematian Swara. Saya betul-betul minta maaf dan turut berduka cita.” kata
dokter.
“Sabar ya pak,
jika penyebab yang akhirnya kita ketahui kurang dapat di mengerti oleh kita,
namun begitulah adanya. Ketika kita memiliki sesuatu, kita juga harus siap kehilangannya. Iyakan pak dokter? tanya Egi.
“Betul.”
“Kita harus
mengikhlaskannya pak, yang
terpenting bapak sudah berikhtiar, berusaha kembali menemui saya jauh-jauhke sini. Menempuh perjalanan yang tidak dekat dan tidak mudah untuk
dilalui.” lanjut dokter.
“Iya yang
penting saya sudah mengetahuinya. Saya juga minta maaf kepadamu nak Egi karena
menpat menuduh kamu penyebab kematian Swara.” kata Pak Anto.
“Iya saya sudah
memaafkan bapak sebelum bapak meminta maaf.” kata Egi.
“Terima kasih
nak.” kata Pak Anto.
“Apa dokter Richard sedang sibuk?” tanya Egi.
“Tidak, ada apa
gerangan?” sahut dokter.
“Saya mau
cerita sedikit pak. Begini di Indonesia, kemarin ada teman saya yang meninggal
setelah saya lihat dia meminum cairan bening. Apakah sama cairan bening
tersebut dengan cairan bening penyebab kematian Swara? Dokter Richard kan
seorang dokter yang ahli, nah bisakah dokter membantu saya lagi, untuk
melakukan autopsi kepada teman saya itu?” terang Egi.
“Apa belum ada
yang bisa memecahkannya sampai dini hari?” tanya dokter.
“Hasil autopsi
pertama menyatakan korban meninggal karena kekurangan oksigen dalam darah. Ini hasil autopsi tadi malam dan hari ini
mungkin hasil diberikan ke penyidik.” katanya.
“Sebelumnya
saya menelpon polisi yang berjanji menyelidikinya, namun tindak lanjut belum
dilakukan olehnya. Kalau dokter berkenan, kita akan berangkat ke Indonesia
besok pagi.” terang Egi.
“Iya bisa,
mengingat kasus seperti ini masih sangat langka dan sulit diterima oleh
keluarga korban jika tidak disertai dengan bukti yang nyata.” kata dokter.
“Wah dokter ini
baik sekali, terima kasih atas kesediaannya dok.” kata Egi.
“Sama-sama Nak.
Sudah seharusnya kita sesama ini diperintahkan untuk saling tolong-menolong.”
Tidak terasa
sore pun beralih menjadi senja. Dokter yang melihat Egi dan Pak Anto datang
dengn tas-tas yang dibawa, bertanya.
“Setelah tiba
di Amerika, langsung ke sini ya Pak?” tanya dokter.
“Iya dok.”
jawab pak Anto.
“Sudah punya
rencana mau menginap di mana Nak, Pak?” tanya dokter lagi.
“Belum dok.”
kata pak Anto jujur.
“Kalau begitu
menginap di Apartemen saya saja, cukup luas kok.” kata dokter Richard.
“Apa tidak
merepotkan dok?” tanya Egi.
“Oh, tidak.
Biar gampang besok berangkat sama-sama ke Indonesia. Bagaimana?” kata dokter.
“Baik dok.
Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya.” kata pak Anto.
“Santai saja
Pak. Mari ikut mobil saya.” kata dokter sambil menggiring keluar ruangan.
“Apartemen saya
tidak jauh dari sini, sebentar saja sampai ko. Bagaimana kalau kita mampir dulu
ke restoran untuk makan malam?” tawar dokter Richard.
“Setuju.” sahut
egi dan Pak Anto bersamaan.
“Biar tidurnya
nyenyak juga hehe.” kata dokter.
“Pak dokter
bisa saja.” kata pak Anto.
Beberapa saat
mereka tiba di Restoran.
“Bagaimana
makanannya enak?” tanya dokter.
“Enak sekali.
Betul Pak? sahut Egi sekaligus minta persetujuaan Pak Anto tentang pendapatnya.
“Betul.” sahut
pak Anto.
“Mau tambah
lagi?” kata dokter.
“Tidak Dok,
terima kasih.” kata Egi yang makanannya telah habis.
“Yasudah, kalau
begitu ayo kita berangkat.” kata dokter.
Benar, sepuluh
menit saja mereka sampai di Apartemen Dr. Richard. Dokter membuka pintu
Apartemennya dan mempersilakan Egi dan Pak Anto masuk.
“Anggap saja
rumah sendiri ya, jangan sungkan jika ada apa-apa panggil saja saya. Kamar saya
ada di sebelah kiri dan toiletnya ada di sebelah kanan.”
“Untuk kamar
tidur Egi dan Pak Anto, itu.” tunjuk dokter.
“Baik Dok.”
kata Egi.
“Hidupkan alarm
masing-masing, agar besok tidak kesiangan.” pesan dokter.
“Haha tenang
saja dok, akan saya siram jika nak Egi tidak saja bangun.” sahut Pak Anto.
Ketika tepat
pukul empat pagi, alarm berbunyi. Egi dan Pak Anto bangun dan segera mandi.
keluar dari kamar, mereka telah di tunggu dokter Richard di meja makan.
“Selamat pagi.
Ayo kita makan dulu.” kata dokter Richard sambil tersenyum.
Egi dan pak
Anto mendekat ke meja makan. Mereka makan dengan lahap karena masakan yang
disajikan oleh doktr Richard begitu enak.
“Ini masakan
dokter?” tanya Egi.
“Iya.
Bagaimana?” tanya dokter lagi.
“Enak sekali
dok. Mantan Koki ya?” tebak Pak Anto.
“Kok tahu?”
kata dokter.
“Betul ya?”
tanya pak Anto lagi.
“Iya, serius.”
sahut dokter.
Ketiganya pun
tertawa. Setelah makan, mereka bergegas meletakan tas mereka yang sudah di
siapkan untuk di bawa ke mobil. Tidak lama mereka pun tiba di Bandara.
Tidak terasa
mereka sampai di Indonesia. Egi menyarankan agar mereka beristirahat dulu satu
malam baru menindak lanjuti tentang mayat Caca dan Eko.
Keesokkan
harinya, penyelidikan pun dilakukan. Akhirnya diketahui kematian Caca di
sebabkan karena kekurangan oksigen.
Sedangkan
penyebab kematian Eko belum saja terpecahkan. Polisi bingung dengan lukisan jari manusia itu, namun tidak ada sidik jari
di keris yang menancap pada tubuh Eko. Warga juga tidak ada yang mampu memahami
rahasia di balik tubuh Eko. Kendala lain adalah tidak ada CCTV di sana.
Akhirnya mereka
harus mempercayai bahwa Villa itu angker sebagaimana cerita penduduk di sekitar
Villa tersebut. Mau tidak mau kasus pun dianggap selesai.
Pemakaman pun
harus segera dilaksanakan karena sudah tertunda beberapa hari setelah kematian
Caca dan Eko. Rencananya pemakaman di lakukan pada besok pagi.
Pagi-pagi
sekali bu Reni menjemput Egi dan ayah Swara untuk pergi bersama ke pemakaman
Caca, Beni dan Eko. Bu Reni berusaha menghibur dan menguatkan Egi maupun ayah
Swara yang masih dalam keadaan berduka.
Setelah
memasuki mobil bu Reni, terjadilah perbincangan kecil diantara ketiganya.
“Selama ini Bu
Reni baik sekali kepada saya.” kata ayah Swara
“Betul. Tidak
ada bu guru sebaik Bu Reni.” kata Egi.
“Ah kalian ini
bisa saja.” kata bu Reni.
Pertama mereka
ke pemakaman Swara. Usai dari pemakaman Swara, barulah mereka ke pemakaman
Beni. Ketika di mobil menuju pemakaman Beni, Egi mulai membuka suara.
“Saya boleh
cerita?” tanya Egi.
“Cerita apa
nak? Ayo ceritakan saja.” sahut bu Reni.
“Tadi malam
saya memimpikan Swara. Dia tersenyum pada saya Bu, Pak.” Menurut kalian apa
arti dari mimpi tersebut?” kata Egi.
“Kalau menurut
ibu, dia sudah tenang disana, dia tidak lagi diperdebatkan. Dia tidak marah
pada mu nak.” kata Bu Reni.
“Alhamdulillah.”
kata Egi.
“Sekali lagi
maafkan saya nak Egi.”
“Sudahlah pak,
semuanya sudah selesai. Saya senang di temui Swara tadi malam dengan senyum
manisnya.” sahut Egi.
“Ngomong-ngomong
senyum bu Reni juga tak kalah manis kan?” tanya ayah Swara meminta persetujuan
Egi untuk merayu bu Reni.
“Ga kalah ko.
Oh, rupanya paman memendam rasa suka ya pada bu guru saya yang cantik ini?”
kata Egi.
Bu Reni yang
tersipu malu hanya berdiam diri.
“Bolehkah saya
bertanya sesuatu?” kata ayah Swara pada bu Reni.
“Boleh, tapi
jangan yang sulit-sulit ya Pak?!” sahut Bu Reni.
“Apa ibu sudah
memiliki pasangan?” tanya ayah Swara.
“Jujur saja
belum Pak.” sahut Bu Reni.
Egi pun
menyanyikan lagu dari band Kotak-Pelabuhan terakhir.
Dengarlah sayangku
kaulah pelabuhan terakhirku
takkan bisa ku jalani hari
tanpa diri mu oo..
“Hey anak muda, bisa diam?” kata bu Reni
semakin malu.
Ku sadar ku tak punya apa-apa
selain berbenah karna rasa cinta
ku akui pada tak berdaya
hatiku menyerah
selamat tinggal duka
sambut bahagia untuk selamanya...” lanjut pak
Anto.
“Sudahlah terus
terang saja Pak.” goda Egi.
“Baik. Saya
kagum dan jatuh cinta dengan kebaikan dan kelembutan tutur Bu Reni. Sudah lama juga
saya tidak mempunya pendamping, apakah ibu mau menghabiskan sisa hidup bersama
saya?” tawar Pak Anto.
“Di jawab
sekarangkah?” tanya bu Reni.
“Terserah bu
Reni. Kalau ibu perlu waktu untuk menjawabnya saya akan sabar menunggu. Namun
alangkah senangnya saya jika di jawab sekarang. Agar saya bisa tidur nyenyak
malam ini.” kata pak Anto.
“Terima,
terima, terima.” ujar Egi.
“Kasih saya
waktu ya Pak?”
“Berapa lama?”
tanya Pak Anto.
“Sehari
semalaman saja.” jawab bu Reni.
“Baiklah, saya
berharap keputusan yang ibu buat besok adalah kabar gembira buat saya.” kata
pak Anto.
“Ini kita
langsung pulangkan Pak?” tanya Bu Reni.
“Iya. Bu Reni
sudah Capek ya?” sahut pak Anto.
“Iya Pak.”
jawab Bu Reni.
Sesampai di rumah, sebelum tidur bu Reni
sempat memikirkan tentang tawaran Pak Anto untuk menikah dengannya. Namun ia
memikirkan bagaimana pendapat Swara jika ayahnya menikah lagi dengan orang
lain. Apakah Swara menyetujui hal tersebut? tanya bu Reni dalam benaknya. Tidak
lama kemudian bu Reni terlelap. Dalam tidurnya dia ditemui oleh Swara.
Singkatnya,
Swara menitipkan ayahnya pada Bu Reni. Dia sangat berteriman kasih jika Bu Reni
mau merawat dan menemani hari-hari ayahnya.
Pagi yang
cerah. Bu Reni bangun tidur dengan tersenyum. Ia bergegas mandi lalu pergi
untuk menemui pak Anto.
Setelah sampai
di depan rumah pak Anto, bu Reni mengetuk pintu dengan sedikit gugup.
“(Tok, tok,
tok) Assalamualaikum.” kata Bu Reni.
“Waalaikumsalam.”
sahut Pak Anto lalu membuka pintu.
“Oh bu Reni,
mari masuk.” sambut pak Anto bersemangat.
“Saya akan
menjawabnya hari ini dan Swara lah yang membuat saya semakin yakin.” kata Bu
Reni.
“Maksudnya?”
tanya Pak Anto bingung.
“Tadi malam
sebelum tidur, saya sempat memikirkan tentang tawaran Pak Anto kemarin. Saya
memikirkan bagaimana pendapat Swara jika ayahnya menikah lagi dengan saya.
Apakah Swara merestui kita?” kata Bu Reni.
“Hemm...” gumam
pak Anto sambil mendengarkan dengan seksama.
“Tidak lama
kemudian saya terlelap dan berlanjut ke dalam mimpi. Dalam tidur, saya ditemui
oleh Swara. Swara berkata ia berterima kasih dan ikut senang jika saya menerima
tawaran Pak Anto.” kata bu Reni lalu menghembuskan nafas sebentar.
“Jadi?” tanya
Pak Anto tidak sabar.
“Saya
maumenikah dengan Bapak.” kata bu Reni.
“Alhamdulillah.
Kalau begitu, jangan panggil ayah Swara Bapak lagi, tapi Mas begitu Bu.” sahut
Egi keluar dari kamar yang ternyata tadi malam menginap di rumah pak Anto.
“Akhirnya saya
mempunyai pendamping hidup lagi, semoga ini yang terakhir.” kata pak Anto.
Dengarlah sayangku
kaulah pelabuhan terakhirku
takkan bisa ku jalani hari
tanpa diri mu oo..
Pak Anto dan
Egi menyanyi bersama dengan bahagia.
Komentar
Posting Komentar