Langsung ke konten utama

ENIGMA (NOVELET PERDANA) bagian 1


“Selamat pagi kawan-kawan... Hari ini adalah hari pertama kalian masuk sekolah terfavorit di kota ini  sebagai siswa-siswi SMAN 13 BANDUNG. Saya selaku Ketua Pelaksana Masa Orientasi Siswa (MOS) di sekolah ini mengucapkan selamat datang kepada siswa-siswi baru dan selamat menikmati  kegiatan yang menyenangkan ini.” kata Egi dengan senyum sinisnya.
Kemudian muncullah seorang anak perempuan dengan berlari-lari dan terpeleset tepat di hadapan kaki Egi. Anak itu menengok ke atas menatap mata sang ketua pelaksana yang gagah tapi terlihat sadis dengan sedikit merintih kesakitan dan mulai membuka mulutnya.
Maaf kak, Saya terlambat.” kata siswi tersebut.
Dengan ganas Egi memaki siswi baru yang ia belum tahu siapa namanya.
“Hei, Bebek!! Cepat bangun! Dasar anak baru, hari pertama saja sudah tidak disiplin. Sekarang kamu harus mendapatkan hukuman. Lari keliling lapangan sebanyak tiga kali putaran.” bentak Egi.
“Siap ka. Tapi maaf sebelumnya aku mau mengoreksi kalau namaku bukan bebek kak. Namaku Swa...” kata Swara.
“Berani sekali kamu mengoreksi omongan saya! Cepat laksanakan!!” potong Egi.
Baru dua kali putaran, siswi tersebut pingsan dan Beni selaku teman dari satu SMP dengan Swara yang menyaksikan kejadian itupun segera membawa ke Usaha Kesehatan Sekolah (UKS).
Sepuluh menit kemudian, setibanya di UKS Swara langsung ditangani pelayan UKS. Namun, Swara tidak juga sadarkan diri. Setelah itu Beni meminta bantuan pihak sekolah untuk membawa Swara ke Rumah Sakit.
Setengah jam kemudian, tiba di Rumah Sakit Suaka Insan. Beni segera menghubungi orang tua dari Swara. Tidak lama setelah itu, di luar ruang pemeriksaan, Beni dan ayah Swara yang baru datang menunggu dengan cemas.
“Apakah keluarga dari pasien sudah datang?” tanya Dokter.
“Saya ayah nya, Dok.” jawab ayah Swara.
“Dengan berat hati, saya sampaikan permintaan maaf bahwa kami tidak dapat menolong nyawa anak Bapak.” kata Dokter.
Beni dan ayah Swara pun syok seketika mendengar pernyataan dokter tersebut.
“Innalillahiwainnailaihirajiun.” ucap Beni sedih.
Apa?” kata ayah Swara seakan tidak percaya.
Beni mencoba merangkul ayah Swara.
“Sabar Pak.” kata Beni.
“Ini tidak mungkin.” kata ayah Swara.
“Tenangkan pikiran bapak dulu, setelah itu saya akan antar bapak ke rumah.” kata Beni.
Setelah itu keduanya pulang.
Di sekolah, pasca MOS. Anak-anak memasuki kelasnya masing-masing. Di pojok sekolah, dari kejauhan Pak Anto seorang penjaga skolah menatap tajam anak-anak kelas dua belas yaitu Egi dan Caca seraya berkata.
Dasar pembunuh! Kalian adalah penyebab kematian itu.” katanya dalam hati.
Tiba jam istirahat.
“Ben, bagaimana keadaan temanmu kemarin?” tanya Caca, ketika berpas-pasan dengan Beni.
“Dia meninggal kak.” jawab Beni.
“Innalillah... Saya jadi merasa bersalah, karena kemarin membiarkan Egi menghukumnya. Sebelumnya, apa Swara  juga mempunyai penyakit yang serius? Sehingga kemarin itu adalah puncak dari...”
“Kakak tidak perlu merasa bersalah begitu, ini bukan salah kakak. Namun, hal yang membuat saya masih saja merasa sedih karena penyebab kematian Swara belum diketahui pasti. Bukan kah tidak masuk akal jika hanya karena ia berlari keliling lapangan dan sepengetahuan saya, Swara pun tidak memiliki riwayat penyakit yang serius selain maag nya.” cerita Beni.
“Benar Ca kata anak satu ini, kita tidak perlu merasa bersalah. Sebab ini memang bukan salah kita, ini sudah menjadi takdir anak itu. Memang belum rezekinya saja untuk dapat menikmati pembelajaran di sekolah popular ini haha...” sahut Egi yang entah dari arah mana datangnya.
“Sudah jangan dipikirkan lagi. Ayo kita makan, tambah Egi seraya menarik Caca.”
Di Kantin.
Egi langsung duduk dan memesan dua piring nasi goreng dan dua gelas air putih untuknya dan Caca. Beberapa saat kemudian pesanan tersebut datang.
Ketika menyantap makanan...
Hah apa-apaan ini?” kata Egi terkejut melihat apa yang ada di sendok yang hampir saja ditelannya.
Ada bangkai Cicak dalam makananku. Ayo kita pergi dari sini, aku jijik.” kata Egi.
Egi sangat marah, sambil beranjak pergi dari tempat duduknya.
Bel berbunyi tanda waktu istrahat sudah berakhir.
“Selamat siang anak-anak. Langsung saja ambil buku teks Matematika kalian halaman 12. Kerjakan tugas 1 nomor satu sampai dengan nomor empat, jika jamnya sudah berakhir, ketua kelas segera kumpulkan tugasnya ke ruangan saya.” kata Bu Reni.
Ketika Egi membuka tas dan ingin mengambil bukunya, tiba-tiba Egi berteriak.
Shit! Mengapa ada bangkai tikus di tas ku? Argh... Sial sekali aku hari ini.” kata Egi geram.
Suasana kelas menjadi ricuh karena teman-teman yang lain juga ikut terkejut. Bel berbunyi empat kali tanda waktu pelajaran sudah berakhir. Mendengar keributan tersebut, Kepala Sekolah datang  untuk menenangkan dan segera mempersilahkan siswa-siswinya untuk pulang.
Sejak kematian Swara, Egi merasa banyak kejadian aneh yang menimpa dirinya. Semua penuh dengan keganjilan, bisa disebut dengan terror.
Apakah kematian Swara memang karena ulahku waktu itu? Apa sebelum ia meninggal Swara belum memaafkan perbuatanku? Oleh karena itu arwahnya yang menghantui akhir-akhir ini.” gumam Egi.
Tadi malam, Egi juga  mendapat telepon dari sosok yang belum diketahuinya siapa. Orang itu meminta Egi untuk menemuinya sepulang sekolah ini.
“Ca, tadi malam mendapat telepon dari sosok misterius. Orang itu memintaku untuk menemuinya sepulang sekolah ini. Kamu ikut aku ya Ca?” ajak Egi.
“Jujur saja aku juga merasa begitu dan terkadang aku jadi merasa was-was sendiri. Maaf Gi, aku  tidak bisa ikut. Soalnya kebetulan pulang sekolah nanti, aku di jemput kakak ku.” kata Caca beralasan.
“Okelah kalau begitu.” sahut Egi.
Sepulang sekolah, Egi pun pergi seorang diri mendatangi tempat yang telah dijanjikan oleh penelpon misterius itu. Setibanya di tempat tersebut, nampak tanah kosong yang terhampar luas dan sepi. Satu sampai dua jam Egi menunggu. Namun tidak ada yang datang. Ia merasa di tipu, kemudian meninggalkan tempat tersebut dengan kesal.
Keesokan harinya, di sekolah, saat pelajaran berlangsung hening.
“Ca, aku mau cerita kalau...” kata Egi.
“Maaf aku potong sebentar ya Gi, aku kebelet nih.” sahut Caca.
Caca meminta izin ke toilet. Ketika Caca selesai buang air kecil, ia hendak membuka pintu toilet dan ternyata pintu terkunci dari luar. Caca berteriak mencoba meminta tolong, berharap di luar sana ada yang mendengarnya. Namun tidak ada yang mendengar teriakkannya. Caca membuka ponselnya dan mencoba meminta pertolongan Egi. Namun Egi tidak mengangkat teleponnya.
“Ah, Egi kamu ngapain sih, pasti sedang pura-pura memperhatikan pelajaran. Angkat teleponku dong. Coba lagi saja ah.” guman Caca.
Jam pelajaran berakhir. Egi yang merasa sudah lelah langsung pulang ke rumah. Setiba di rumah, barulah ia ingat kalau Caca tidak juga kembali setelah meminta izin ke toilet saat pelajaran sejarah tadi. Awalnya Egi berpikir itu hal biasa.
“Mungkin Caca hanya  mengantuk dan ke toilet merupakan alasan Caca semata untuk bisa mencari angin di luar kelas”. pikir Egi.
Egi mencoba untuk tidur siang tapi tidak bisa. Ia selalu teringat sahabatnya itu. Lalu Egi membuka Handphone(HP)nya. Egi terkejut melihat ada panggilan tak terjawab dari Caca. Egi mencoba untuk meneleponnya kembali, namun HP Caca tidak aktif lagi.
Sore harinya Egi kembali ke sekolah untuk mencari Caca. Ia bersyukur pagar sekolah masih terbuka lebar. Sesampai  di depan toilet, Egi memanggil nama Caca, namun tidak ada tanda-tanda bahwa ada orang di dalamnya. Caca yang sebelumnya sempat berteriak minta tolongpun saat itu kelelahan dan terlelap sebentar.
Tidak terasa malam pun tiba. Egi kembali ke rumah dengan perasaan tidak tenang. Diambilnya HP-nya untuk menghubungi Caca.
“Alhamdulillah tersambung. Angkat Ca angkat.” batin Egi.
“Hallo, hallo Ca. Apa kamu mendengar suara saya?” tanya Egi.
“Egi... Iya saya mendengarnya.” sahut  Caca.
“Kamu dimana?” tanya Egi lagi.
“Tolong aku Gi, aku terkunci di toilet sekolah dari tadi siang.” kata Caca lemah.
Ok, kamu tenang dulu ya Ca aku segera kesana.
Sebelum Egi tiba di sekolah, datang seseorang misterius yang menghampiri Caca. Dia berniat membunuh Caca dengan mencekiknya dari belakang. Caca sendiri merasa hamipr mati karena tidak bisa bernafas.
“Teman pembunuh kau!” kata bapak yang juga membawa kapak itu.
Caca berusaha melepas cekikan itu dibantu oleh Egi yang baru saja datang. Setelah cekikakan terlepas, barulah Caca bisa berbalik melihat siapa yang mencekiknya.
”Paman?!” seru Caca.
Kalian penyebab kematian anakku dan kau, kau harus merasakan pembalasannya. Siapa lagi yang membalasnya kalau bukan aku?” hardik paman penjaga sekolah yang sekaligus ayah dari almarhum Swara.
Sebelum kapak yang dibawanya memakan korban, datanglah Bu Reni.
“Paman? Apa yang paman lakukan? Jika paman mengira penyebab kematian Swara karena disebabkan siswa di sini atau Egi maupun Caca, itu salah! Sebelumnya saya meminta maaf karena baru mengabarkan bahwa kemarin sore saya mendapat kiriman dari rumah sakit hasil pemeriksaan penyebab kematian Swara. Ketika hendak ke rumah bapak, tiba-tiba ada sesuatu yang mendesak dan saya harus pergi, jadi saya tidak bisa langsung ke rumah paman. Malamnya, pukul sebelas barulah saya balik, ingin ke rumah bapak namun takut mengganggu, karena sudah larut malam.” terang Bu Reni.
“Maksudmu? Penyebab kematian Swara sudah jelas disebabkan karena kekerasan yang anak-anak didikmu lakukan ininkan?!.” balas ayah Swara.
Bukan paman. Apa paman tidak tahu, kemarin Beni bercerita kepada saya. Sebelun Swara meninggal dia pernah menceritakan tentang penyakit maag yang di deritanya kepada Beni. Mungkin saja bertepatan hari MOS bulan lalu ternyata maag nya sudah parah, entah maag akut atau apa. Aku pun tidak menyangka akan secepat ini.” kata Caca.
“Aku sama sekali tidak tahu. Mungkin katamu? Jangan mengada-ngada kamu bajingan!” kata ayah Swara memanas.
“Ya itulah paman penyebab paling logisnya yang bisa kita terima. Paman itu sebagai orang terdekatnya harusnya menjaga Swara dengan baik sebagai orang tua tunggal, paman harusnya mengetahui hal itu.” balas Egi yang juga mulai memanas.
“Lalu kamu! Yang mengaku mendapat hasil pemeriksaan dari rumah sakit. Apa yang tertera di situ?” tanya ayah Swara seraya menunjuk Bu Reni.
Bu Reni mencoba menjelaskan sekali lagi. Dia meminta maaf  sebesar-besarnya karena kemarin sore, tidak bisa langsung ke rumah pak Anto menyerahkan hasil pemeriksaan tersebut. Ketika ia hendak ke rumah ayah Swara, tiba-tiba ada sesuatu yang mendesak dan dia harus pergi keluar kota. Barulah larut malam ia baru bisa balik ke kota ini.
“Jangan  banyak omong kamu, lanngsung saja apa yang tertulis di sana, buktikan kata-kata anak didikmu barusan.”  hardik ayah Swara.           
Bu Reni bingung, sepertinya ayah Swara belum saja mengerti. Dia yang belum sempat membuka hasil pemeriksaan tersebut dan memang tidak ingin mendahului ayah Swara tidak tahu apa yang tertulis, hanya saja Dokter yang mengantar hasil pemeriksaan tersebut menyampaikan bahwa dugaan ayah Swara tidak benar. Ia pun menyampaikan hal tersebut sambil berusaha menenangkan dengan cara bicaranya yang lembut.
“Jujur saja saya juga sangat ingin mengetahui sebab dari meninggalnya nak Swara. Namun saya tidak ingin mendahului bapak untuk mengetahui penyebab kematian anak Bapak.” kata Bu Reni.
“Alah kamu ini, coba kamu tunjukkan kepada saya.” kata ayah Swara.
“Sebentar Pak.” sahut bu Reni.
Bu Reni membuka tasnya dan selama empat menit merogohnya map dari rumah sakit itu tidak juga ditemukan. Ia bingung dan meminta permisi sebentar ke toilet dengan alasan sudah ingin sekali buang air besar. Sepuluh menit kemudian, mau tidak mau bu Reni harus keluar dari persembunyiannya karena ayah Swara tengah menungggunya di luar pintu.
Setelah keluar dari toilet, Bu Reni menjelaskan bahwa tiba-tiba map tersebut tidak ada dalam tasnya. Mungkin saja tertinggal di rumah terangnya dan bu Reni berjanji membawakannya lagi besok hari.
Keesokan harinya jelas saja janji bu Reni akan diminta ayah Swara. Padahal setelah dicari di rumah pun map itu tetap tidak ada. Apakah terjatuh atau tertinggal di mana? Entahlah.
Bu Reni terpaksa  harus menghindar dari ayah Swara sampai jam sekolah berakhir. Bu Reni bergegas untuk segera pulang. Namun ayah Swara tengah menghadangnya dipintu gerbang. Bu Reni pun tak dapat berkutik lagi.
“Kamu pasti sudah tahu apa tujuan saya menunggu kamu di sini. Iya kan?!” kata ayah Swara.
“Oh iya pak. Begini kemarin sudah saya cari di rumah, dari kamar, ruang tamu, dapur, pokoknya dari lantai atas tempat kerja saya sampai lantai bawah, saya belum menemukan map itu. Sekali lagi saya minta maaf karena belum bisa membawakannya hari ini. Beri saya waktu satu hari lagi ya Pak untuk mencarinya.” kata bu Reni sambil memohon.
Mata ayah Swara memerah, ia terlihat menggeram hanya saja kali ini dia terlihat sedang menahan amarahnya.
“Baik.” jawabnya singkat. Kemudian meninggalkan Bu Reni yang berdiri gugup terpaku.
“Syukurlah kali ini dia tidak memakanku.” ucap bu Reni yang sudah tahu tempramental ayah Swara.
Bu Reni bingung kemana dokumen penting itu, seingatnya setelah ia menerima dokumen tersebut langsung dimasukkannya ke dalam tas dan dibawanya pergi. Kemudian kembali ke rumah dengan tidak ada memindahkannya ataupun mengeluarkannya dari dalam tas. Sekali lagi ia berusaha mengingat-ingat ketika ia sedang berjalan dan beraktivitas di luar. Mulai dari ke luar taksi sampai mampir di Super Market. Sejenak ia terdiam. Kemudian semuanya semakin membingungkan.
Jam dinding telah menunjukkan pukul dua belas malam, Bu Reni belum bisa tidur karena memikirkan berkas penting itu.
“Kemana menghilangnya berkas tetrsebut? Kemana, di mana?” pikir Bu Reni.
“Aku tidak boleh ikut berprasangka buruk pada murid-muridku. Bukankah kemarin aku berusaha mengelak prasangka ayah Swara pada Egi dan Clara.” gumam bu Reni yang tak henti-hentinya memikirkan berkas yang hilang.
Bu Reni bersikeras memejamkan matanya dan akhirnya terlelap.
Pagi harinya, di Sekolah.
Bu Reni masih saja bingung dan mimik wajahnya tak bisa menutupi apa yang sedang ia rasakan.
“Permisi bu.” sapa Beni.
“Oh, iya.” kata bu Reni kaget.
“Kalau boleh saya tahu, kenapa ibu terlihat begitu bingung dan khawatir seperti itu?” tanya Beni.
Bu Reni pun bercerita pada Beni bahwa hasil pemeriksaan dari dokter tentang sebab meninggalnya Swara telah hilang begitu saja.
“Apa ibu sudah mencarinya?” tanya Beni.
“Ibu sudah mencarinya kemana-mana Ben.” kata bu Reni.
“Saran saya begini saja, ibu harus datang ke dokter itu dan meminta berkasnya lagi.” ucap Beni.
Terdiam sejenak. Bu Reni terlihat sedang berpikir.
“Betul sekali Ben, kenapa saya begitu bodoh dan tidak berpikir seperti itu.” kata bu Reni.
“Saya tahu ibu panik, makanya jernihkan pikiran dulu Bu dan jangan terburu-buru. Bu Reni sudah makan?” kata Beni.
“Belum, nak.” sahut Bu Reni.
“Mau saya temani Bu, kebetulan ada waktu setengah jam lagi baru lonceng berbunyi?” tawar Beni.
“Boleh, terima kasih nak.” kata Bu Reni.
“Sama-sama Bu.” jawab Beni.
Tiba di kantin, karena sudah lapar Beni langsung memesan makanan untuknya dan Bu Reni.
Usai makan Bu Reni langsung pamit.
“Biar Ibu yang bayar semuanya Ben.” kata Bu Reni.
“Tidak usah Bu.” sahut Beni.
“Tidak apa-apa Ben. Ya sudah, ibu pergi ke rumah sakit dulu ya. Assalamualaikum.” kata Bu Reni.
“Oh terima kasih bu. Waalaikumsalam.” sahut Beni.
Satu jam kemudian.
Sesampainya di rumah sakit dengan semangat bu Reni menanyakan dimana ruang dokter Richard yang telah memeriksa Swara karena besar harapannya masalah ini akan berakhir setelah ia menemukan bukti-bukti tersebut.
Ketika apa yang dibayangkan tidak sesuai dengan kenyataan, bu Reni terkulai lesu. Ia duduk sambil menghela nafas.
“Ya Allah, bagaimana ini?” ucapnya.
Ternyata dokter Richard telah dipindahkan untuk bekerja di luar negeri dan pegawai lain pun tidak ada yang menyimpan arsip berkas tersebut.
“Mengapa sampai tidak ada copy-an berkas tersebut? Itu kan dokumen penting, tidak hanya bagi saya tapi seharusnya di sini juga menyimpan arsip itu, bagaimana sih? tidak becus sekali.” Bu Reni mengomel.
“Kami minta maaf, kami benar-benar tidak tahu dimana dokter Richar menyimpan arsip itu. Mungkin betul apa yang telah ibu katakan, pegawai di sini memang tidak terlalu cakap mengurus dan menanyakah hal mendetail seperti hal tersebut, tidak ada yang menanyakan kepada dokter sebelum dokter Richard meninggalkan rumah sakit ini.” kata atasan dari staf yang ditemui bu Reni sebelumnya.
“Kalau begitu pecat saja mereka.” kata bu Reni.
“Saya mewakili pekerja lainnya memohon maaf sekali lagi. Memang tidak lama ini telah diberhentikan beberapa pegawai yang kurang cakap seperti itu karena disadari pekerjaan kami juga menyangkut nyawa orang lain. Kami juga lebih selektif lagi menerima Dokter Muda (DM) untuk bekerja di sini. Tetapi, saya akan bantu mencarikan yang ibu butuhkan.” kata dokter pengganti sementara dokter Richard.
“Ini kartu nama saya, jika Anda sudah menemukan arsip tersebut segera hubungi saya.” kata bu Reni.
Waktu berlalu, namun dokter belum saja memberikan kabar kepada bu Reni. Sesekali didatanginya lagi oleh bu Reni Rumah Sakit tersebut, tapi tidak ada hasil yang membuahkan. Ayah Swara yang terlalu berlarut-larut memikirkan mistreri kematian anaknya menjadi stres dan akhirnya di rawat di Rumah Sakit Jiwa.
Di Sekolah... Entah siapa yang menyebarkan bahwa penyebab kematian Swara belum jelas. Maka muncullah kelompok detektif yang terdiri atas empat orang yang beranggotakan dua orang siswa dan dua orang siswi.
Mereka adalah Ana, Beni, Caca dan Eko. Beni adalah teman SMA Swara yang tentu saja peduli dengan kasus seperti ini. Caca teman Egi yang hampir menjadi tersangka. Ana merupakan siswi terpintar yang ada di kelas mereka, yaitu kelas X E yang merupakan kelas Beni juga. Terakhir ada Eko yang diam-diam menyukai Swara sejak pandangan pertama dan tentu dia juga peduli dengan kasus ini sehingga ia ingin membantu ayah Swara serta ibu Reni dan yang lainnya yang sangat ingin mengetahui penyebab kematian Swara.
Sebelum melakukan aksi mereka, kelompok detektif akan melakukan kegiatan makrab atau malam keakraban. Secara konsep, kegiatan ini bertujuan agar mereka yang sebenarnya bukan teman sepermainan bisa mengenal satu dengan yang lain. Selain itu, untuk menciptakan kenyamanan, saling mendekatkan dengan bertukar pikiran, dan belajar terbuka.
Mereka berencana melakukan perjalanan jauh, menikmati suasana baru yang berbeda dari biasanya, tanpa kebisingan dan menyusun serangkaian kegiatan menyenangkan yang bertujuan menguji kekompakkan mereka juga yaitu dengan Camp Ground, Hiking dan Camp Fire.
Tiba pukul tiga sore. Beni mengirim sebuah pesan singkat kepada teman-temannya untuk mengingatkan agar mereka bergegas berkumpul di tempat yang telah di janjikan, yaitu di depan sekolah mereka.
Setengah jam berlalu, satu persatu dari mereka yang ikut ke Bukit berdatangan. Satu jam kemudian, tepatnya pukul empat sore ketika semua terkumpul, Ana, Caca, Beni dan Eko segara berangkat. Diperjalan Ana dengan teman satu motornya yaitu Beni terpisah dengan Caca dan Eko, karena menunggu lampu Merah berubah jadi Hijau. Ana dan Beni sama sekali tidak mengetahui arah Bukit Batas tempat yang mereka tuju.
Ben, berhenti sebentar. Mari kita bertanya pada Bibi yang berjualan kue itu, siapa tahu Bibi itu penduduk asli di sini dan bisa membantu kita.” kata Ana sambil menepuk bahu Beni.
Ana dan Beni hanya bisa berdoa agar mereka cepat dipertemukan dengan teman-temannya setelah  mencoba bertanya pada penduduk setempat.
Ana turun dari motor dan menghampiri Bibi penjual kue.
“Permisi bi.” sapa Ana.
“Iya.” sahutnya.
“Saya mau menanyakan apakah bibi tahu arah ke Bukit Batas?” tanya Ana.
“Umm Bukit Batas, lurus saja neng.” kata Bibi penjual kue.
“Oh seperti itu kah, terima kasih ya Bi? Kami permisi dulu.” kata Ana.
Adzan Magrib tiba bersamaan dengan sampainya Ana dan Beni ditempat tujuan. Namun yang ada tidak sesuai dengan ekpetasi mereka. Tanahnya sangat becek, menyebabkan pakaian, terlebih lagi sepatu mereka cepat sekali kotor, dan banyak sampah. Keadaan sekitarnya pun tidak asri lagi.
An, seperti yang kita lihat saat ini, jauh sangat berbeda bukan dengan apa yang kita lihat di instagram kemarin? Bahkan tidak ada persamaannya sama sekali. Apa kamu yakin ini tempatnya?” tanya Beni.
Iya ya. Jangan-jangan bukan ini tempatnya, apa kita tersesat? Mungkinkah Bibi penjual kue itu memberikan petunjuk yang salah? Agrhh... tega sekali dia.” ujar Ana.
Beni mencoba melihat ke sekelilingnya. Namun ini bukanlah Bukit Batas, pikir Beni.
“Sebentar. Jangan suudzan dulu na.” kata Beni.
“Lalu bagaimana ini? Kita balik saja atau...” kata Ana yang masih bingung dan tidak dapat melanjutkan omongannya.
“Sayang ah kalau harus balik. Kita lanjutkan saja pencarian ini, bagaimana An menurutmu? Apa kamu setuju dengan pendapatku?” ujar Beni.
Ayo!! Aku juga masih semangat ko.” kata Ana.
“Dan harus selalu semangat An, oke?” kata Beni.
“Oke.” jawab Ana.
“Sebelum kita naik lagi, bagaimana kalau kita titipkan motorku dulu?” tanya Beni.
“Dimana?” tanya Ana.
“Sebelumnya sampai di sini, aku melihat satu buah rumah di bawah sana, belum terlalu jauh. Kita balik arah sebentar ya?” kata Beni.
“Ya sudah kalau begitu.” kata Ana.
“Semoga aman.” kata Beni.
“Aamiin.” sahut Ana.
Beni pun menitipkan motornya di rumah tunggal yang ada di sana. Ana dan Beni melanjutkan perjalan. Mereka mulai mendaki untuk mencari tempat indah yang diangankan. Setelah sekitar 40 menit mereka berjalan...
“Wawww!!!” teriak Ana.
“Ada apa Na?” kata Beni yang masih berada sedikit di bawah Ana.
“Lihat itu Ben! Ayo cepat naik.” kata Ana kegirangan.
“Iya, iya Naa.” sahut Beni.
“Cepat Ben... Sedikit lagi kita akan tiba di tempat yang indah, entah itu Bukit Batas atau bukan, tapi dari sini kelihatan mempesona sekali.” kata Ana.
“Subhanallah, indah sekali.” ujar Beni terkagum-kagum.
Agar bisa melihat keindahan alam yang tercipta, mereka melewati petualangan dalam kegelapan malam. Hanya membawa satu alat penerangan yang kecil cahayanya. Kurang lebih setengah jam sampailah mereka dipuncak yang indah.
Sejenak  Ana menghela nafas dan menghirup udara, angin sepoi-sepoi yang mampu menyapu keringatnya.
“Assalamualaikum anak muda.” kata Eko menepuk pundak Beni dari belakang.
Ko malah bengong?!” lanjut Caca.
“Kalian darimana saja?” tanya Eko.
“Kami tidak tahu arah Bukit Batas ini. Jadi ketika kami kehilangan jejak kalian, kami bertanya pada penduduk setempat. Setelah itu tadi sempat salah arah juga. Makanya baru sampai. Maaf ya telah membuat kalian menunggu lama.” terang Beni.
“Ah santai saja. Ayo kita dirikan tenda.” kata Eko.
“Eko?” Kalian disini juga? kata Ana yang baru melihat Eko.
“Ya iya dong. Baru sadar anak ini. Kita sudah dari tadi di sini. Kemana saja kalian?” sahut Caca.
“Kami sempat tersesat.” kata Ana.
“Sudah dua jam loh kami menunggu.” kata Caca.
“Sydah, sudah. Ayo kita mulai.” lanjut Eko.
Sabar dong, kasih aku waktu untuk bernafas dulu.” dengus Ana.
Lalu semuanya tertawa.
Setelah itu Ana dan Caca membuka matras untuk duduk-duduk sebentar. Sedangkan Beni dan Eko mendirikan tenda untuk mereka tidur.
“Guys, apa kalian tidak lapar setelah menempuh perjalanan yang lumayan menguras tenanga ini?” kata Eko.
“Lapar sekali. Ayo segera keluarkan bekal yang kalian bawa. Aku minta saja ya? Hehe.” jawab Beni.
Ya sudah gabungkan makanan yang ada. Kemudian kita makan malam bersama dengan bekal seadanya ya?kata Caca.
Di sinilah indahnya kebersamaan dan suasana kekeluargaan yang sangat terasa. Di sini mereka juga membuat api unggun untuk menghangatkan badan karena udara di atas perbukitan sudah mulai dingin.

Bersambung...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Menulis Buku Harian

To the point 1 saja. Singkat, Padat, dan jelas. GUE MABA. Ya, sekarang gue menyandang gelar MABA 2014 atau Mahasiwa Baru di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia – Univesitas Lambung Mangkurat. Gue lulus seleksi di kampus ini melalui jalur SNMPTN, yaitu pendaftaran melalui online dan berdasarkan nilai rapot sekolah dan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia menjadi pilihan pertama gue. Kedua 2 , Ilmu Komunikasi Fakultas FISIP eh btw, itu gue milihnya sesuai keinginan gue aja tertarik dimana, tau kalau itu fakultas fisip juga pas udah kuliah. Alhamdulillah lulusnya di pilihan pertama yang mana memang gue minati, menjadi guru bahasa Indonesia terinspirasi dari guru SMA gue Ibu Dwi dan Ibu Diana. Mereka kedua guru bahasa Indonesiaku ketika kelas X dan XII, menurutku mereka berdua adalah sosok misterius. Why? Karena mereka guru bahasa Indonesia. Nilai bahasa Indonesiaku tak pernah tinggi, selalu saja rendah, begitu juga dengan teman-temanku. Susah sek...

Kuasa-Mu

Taktiktaktiktatik... Gadis sedang asyik mengetik komputer , tiba-tba ia teringat akan sesuatu. Gadis melirik jam tangannya. “Ya Tuhan, sudah pukul lima sore. Aduh mana belum sholat Asar lagi bagaimana ini?” keluhnya. Gadis berbegas mengambil mantel yang bergantung di dinding kamarnya, segera ia pasang karena cuaca diluar dingin dan masih gerimis dirapikannya rambut sebentar lalu pergi meninggalkan rumah.             Gadis terus mempercepat laju motornya padahal jalan masih licin. Motornya hampir oleng karena menerobos lubang-lubang dijalan yang tertutup air hujan namun ia masih bisa mengendalikan agar tidak jatuh.   Gadis yang berada disekitar tiga meter dari lampu lalu lintas menambah kecepatan 100km/jam karena melihat detik-detik lampu hijau yang sebentar lagi akan berubah menjadi merah. 3... 2.. 1. Berbagai lat transportasi dari arah kiri pun segera melaju karena lampu sudah berubah warna menunjukkan jalan. Gpraaaa...

Perjalanan Pendek Mengesankan

       “ “ Aku bernyanyi untuk sahabat...Aku menari untuk sahabat....” Terdengar nada dering handphone Efa. Efa yang asik menonton tv pun segera berlari mengambil dan menekan tombol hijau pada layar handphone nya. Efa       : “Assalamualaikum, dengan siapa ya?” Mega   : “Ini aku Fa, Mega. Kamu ada di rumah tidak? Efa       : “Iya ada Ga, kenapa?” Mega   : “Aku mau main kesana.” Efa       : “Ada ko, datang aja.” Mega   : “ Ok, tungguin ya”. Beberapa menit kemudian tibalah Mega di rumah Efa. Mega   : “Kapan kamu mau ke Bukit?” Efa       : “Siang ini. Kamu sudah makan atau belum, kita makan yu?” Mega   : “Belum. Ayoo.” Beberapa saat usai makan siang. Tiba-tiba bumi bergemuruh, pertanda hujan akan datang. Mega            : “Fa, Aku pamit pulang ya sebelum hujan ...