“Selamat
pagi kawan-kawan... Hari ini adalah hari pertama kalian masuk sekolah terfavorit di kota ini sebagai
siswa-siswi SMAN 13 BANDUNG. Saya selaku Ketua Pelaksana Masa Orientasi Siswa (MOS)
di sekolah ini mengucapkan selamat datang kepada siswa-siswi baru dan selamat menikmati kegiatan
yang menyenangkan ini.” kata Egi dengan senyum sinisnya.
Kemudian
muncullah seorang anak perempuan dengan berlari-lari
dan terpeleset tepat di hadapan kaki Egi.
Anak itu menengok ke atas menatap mata sang ketua pelaksana yang
gagah tapi terlihat sadis dengan sedikit merintih kesakitan dan mulai membuka
mulutnya.
“Maaf kak, Saya
terlambat.” kata siswi tersebut.
Dengan ganas Egi memaki siswi baru yang ia belum tahu siapa
namanya.
“Hei,
Bebek!! Cepat bangun! Dasar anak
baru, hari pertama saja sudah
tidak disiplin. Sekarang kamu harus mendapatkan hukuman. Lari keliling lapangan sebanyak tiga kali putaran.” bentak Egi.
“Siap
ka. Tapi maaf sebelumnya aku mau mengoreksi kalau namaku bukan bebek kak.
Namaku Swa...” kata Swara.
“Berani sekali kamu mengoreksi omongan saya! Cepat
laksanakan!!” potong Egi.
Baru dua kali putaran, siswi tersebut pingsan dan Beni selaku
teman dari satu SMP dengan Swara yang menyaksikan kejadian
itupun segera membawa ke Usaha Kesehatan Sekolah (UKS).
Sepuluh
menit kemudian, setibanya di UKS Swara langsung ditangani pelayan UKS. Namun, Swara tidak juga
sadarkan diri. Setelah itu Beni meminta bantuan pihak sekolah untuk membawa
Swara ke Rumah Sakit.
Setengah
jam kemudian, tiba di Rumah Sakit Suaka Insan. Beni segera menghubungi orang
tua dari Swara. Tidak lama setelah itu, di
luar ruang pemeriksaan, Beni dan ayah Swara yang baru datang menunggu dengan cemas.
“Apakah keluarga dari
pasien sudah datang?” tanya Dokter.
“Saya ayah nya, Dok.” jawab ayah Swara.
“Dengan
berat hati, saya sampaikan permintaan maaf
bahwa kami tidak dapat menolong nyawa anak Bapak.” kata Dokter.
Beni dan ayah Swara pun syok seketika mendengar
pernyataan dokter tersebut.
“Innalillahiwainnailaihirajiun.” ucap Beni sedih.
“Apa?” kata ayah Swara seakan tidak percaya.
Beni mencoba merangkul ayah Swara.
“Sabar Pak.” kata Beni.
“Ini tidak mungkin.” kata ayah Swara.
“Tenangkan pikiran bapak dulu, setelah itu saya akan
antar bapak ke rumah.” kata Beni.
Setelah itu keduanya pulang.
Di
sekolah, pasca MOS. Anak-anak memasuki kelasnya masing-masing. Di pojok sekolah, dari kejauhan Pak Anto seorang penjaga skolah
menatap tajam anak-anak kelas dua belas yaitu
Egi dan Caca seraya berkata.
“Dasar pembunuh! Kalian adalah penyebab kematian itu.” katanya dalam hati.
Tiba jam istirahat.
“Ben,
bagaimana keadaan temanmu kemarin?” tanya Caca, ketika berpas-pasan dengan Beni.
“Dia meninggal kak.” jawab Beni.
“Innalillah... Saya jadi merasa bersalah, karena kemarin membiarkan Egi menghukumnya. Sebelumnya,
apa Swara juga mempunyai penyakit yang
serius? Sehingga kemarin itu adalah puncak dari...”
“Kakak
tidak perlu merasa bersalah begitu, ini bukan salah kakak. Namun,
hal yang membuat saya masih saja merasa sedih karena penyebab kematian Swara
belum diketahui pasti. Bukan kah tidak masuk akal jika hanya karena ia berlari
keliling lapangan dan sepengetahuan saya, Swara pun tidak memiliki riwayat
penyakit yang serius selain maag nya.” cerita Beni.
“Benar
Ca kata anak satu ini,
kita tidak perlu merasa bersalah. Sebab ini memang bukan salah kita, ini sudah menjadi takdir anak itu.
Memang belum rezekinya saja untuk dapat menikmati pembelajaran di sekolah popular ini haha...” sahut Egi yang entah dari arah mana datangnya.
“Sudah jangan dipikirkan lagi. Ayo kita makan, tambah Egi
seraya menarik Caca.”
Di
Kantin.
Egi
langsung duduk dan memesan dua piring nasi goreng dan dua gelas air putih
untuknya dan Caca. Beberapa saat kemudian pesanan tersebut datang.
Ketika menyantap makanan...
“Hah apa-apaan ini?” kata Egi terkejut melihat apa yang ada di sendok yang hampir saja ditelannya.
“Ada
bangkai Cicak dalam makananku. Ayo kita pergi dari sini, aku jijik.” kata Egi.
Egi sangat marah, sambil beranjak pergi dari tempat duduknya.
Bel berbunyi tanda waktu istrahat sudah berakhir.
“Selamat
siang
anak-anak. Langsung saja ambil buku teks
Matematika kalian halaman 12. Kerjakan tugas 1 nomor satu sampai dengan nomor empat, jika jamnya sudah
berakhir, ketua kelas segera kumpulkan tugasnya ke ruangan saya.” kata Bu Reni.
Ketika
Egi membuka
tas dan ingin
mengambil bukunya, tiba-tiba Egi berteriak.
“Shit! Mengapa ada
bangkai tikus di tas ku? Argh... Sial sekali
aku hari ini.” kata Egi geram.
Suasana kelas menjadi ricuh karena teman-teman yang lain juga ikut terkejut. Bel
berbunyi empat kali tanda waktu pelajaran sudah berakhir. Mendengar keributan tersebut, Kepala Sekolah datang untuk menenangkan dan segera mempersilahkan
siswa-siswinya untuk pulang.
Sejak
kematian Swara, Egi merasa banyak kejadian aneh yang menimpa dirinya. Semua penuh
dengan keganjilan, bisa disebut dengan terror.
“Apakah
kematian Swara memang karena ulahku waktu itu? Apa sebelum ia meninggal Swara
belum memaafkan perbuatanku? Oleh karena itu arwahnya yang menghantui akhir-akhir ini.” gumam Egi.
Tadi malam, Egi juga mendapat telepon dari sosok yang belum diketahuinya siapa. Orang itu meminta Egi untuk menemuinya sepulang sekolah ini.
“Ca,
tadi malam mendapat telepon dari sosok misterius. Orang
itu memintaku untuk menemuinya sepulang sekolah ini. Kamu ikut aku ya Ca?”
ajak Egi.
“Jujur
saja aku juga merasa begitu dan terkadang aku jadi merasa was-was sendiri. Maaf
Gi, aku tidak bisa ikut. Soalnya kebetulan pulang sekolah nanti, aku di jemput kakak ku.” kata Caca beralasan.
“Okelah
kalau begitu.” sahut Egi.
Sepulang sekolah, Egi pun pergi seorang diri mendatangi tempat yang
telah dijanjikan oleh penelpon misterius itu. Setibanya di tempat tersebut,
nampak tanah
kosong yang terhampar luas dan sepi. Satu sampai dua jam Egi menunggu. Namun tidak ada yang
datang. Ia merasa di tipu, kemudian meninggalkan tempat tersebut dengan kesal.
Keesokan harinya, di sekolah, saat pelajaran
berlangsung hening.
“Ca,
aku mau cerita kalau...” kata Egi.
“Maaf
aku potong sebentar ya Gi, aku kebelet nih.” sahut Caca.
Caca
meminta izin ke toilet. Ketika Caca selesai buang air kecil, ia hendak membuka
pintu toilet dan ternyata pintu terkunci dari luar. Caca berteriak mencoba
meminta tolong, berharap di luar sana ada yang mendengarnya. Namun
tidak ada yang mendengar teriakkannya. Caca membuka ponselnya dan mencoba meminta pertolongan
Egi.
Namun Egi tidak mengangkat teleponnya.
“Ah,
Egi kamu ngapain sih, pasti sedang pura-pura memperhatikan pelajaran. Angkat
teleponku dong. Coba lagi saja ah.” guman Caca.
Jam
pelajaran berakhir. Egi yang merasa sudah lelah langsung pulang ke rumah. Setiba
di rumah, barulah ia ingat kalau Caca tidak juga kembali setelah meminta izin
ke toilet saat pelajaran sejarah tadi. Awalnya Egi berpikir itu hal biasa.
“Mungkin
Caca hanya mengantuk dan ke toilet
merupakan alasan Caca semata untuk bisa mencari angin di luar kelas”. pikir
Egi.
Egi
mencoba untuk tidur siang tapi tidak bisa. Ia selalu teringat sahabatnya itu. Lalu
Egi membuka Handphone(HP)nya. Egi
terkejut melihat ada panggilan tak terjawab dari Caca. Egi mencoba untuk
meneleponnya kembali, namun HP Caca tidak aktif lagi.
Sore
harinya Egi kembali ke sekolah untuk mencari Caca. Ia bersyukur pagar sekolah
masih terbuka lebar. Sesampai di depan toilet,
Egi memanggil nama Caca, namun tidak ada tanda-tanda bahwa ada orang di
dalamnya. Caca yang sebelumnya sempat berteriak minta tolongpun saat itu
kelelahan dan terlelap sebentar.
Tidak terasa malam pun tiba. Egi kembali ke rumah dengan perasaan tidak tenang.
Diambilnya HP-nya untuk menghubungi Caca.
“Alhamdulillah
tersambung. Angkat Ca angkat.” batin Egi.
“Hallo,
hallo Ca. Apa kamu mendengar suara saya?” tanya Egi.
“Egi...
Iya saya mendengarnya.” sahut Caca.
“Kamu
dimana?” tanya Egi lagi.
“Tolong
aku Gi, aku terkunci di toilet sekolah dari tadi siang.” kata Caca lemah.
“Ok, kamu tenang dulu ya Ca aku segera
kesana.
Sebelum Egi tiba di sekolah, datang seseorang misterius yang menghampiri Caca. Dia berniat membunuh Caca dengan mencekiknya dari belakang. Caca sendiri merasa
hamipr mati karena tidak bisa bernafas.
“Teman
pembunuh kau!”
kata bapak yang juga membawa kapak itu.
Caca
berusaha melepas cekikan itu dibantu oleh Egi yang baru saja datang. Setelah
cekikakan terlepas, barulah Caca bisa berbalik melihat siapa yang mencekiknya.
”Paman?!” seru Caca.
“Kalian penyebab kematian
anakku dan kau, kau harus merasakan pembalasannya. Siapa lagi yang membalasnya kalau bukan aku?” hardik
paman penjaga sekolah yang sekaligus ayah dari almarhum Swara.
Sebelum kapak yang dibawanya memakan korban,
datanglah Bu Reni.
“Paman?
Apa yang paman lakukan? Jika paman mengira penyebab kematian Swara karena disebabkan siswa di sini atau Egi maupun Caca, itu
salah! Sebelumnya saya meminta maaf karena baru mengabarkan bahwa kemarin sore saya
mendapat kiriman dari rumah sakit hasil pemeriksaan penyebab kematian Swara.
Ketika hendak ke rumah bapak, tiba-tiba ada sesuatu yang mendesak dan saya
harus pergi, jadi saya tidak bisa langsung ke rumah paman. Malamnya, pukul
sebelas barulah saya balik, ingin ke rumah bapak namun takut mengganggu, karena
sudah larut malam.” terang Bu Reni.
“Maksudmu? Penyebab kematian Swara sudah jelas disebabkan karena kekerasan yang anak-anak didikmu lakukan ininkan?!.” balas ayah Swara.
“Bukan paman. Apa paman tidak tahu, kemarin Beni bercerita kepada saya. Sebelun
Swara meninggal dia pernah menceritakan tentang penyakit maag yang di deritanya kepada Beni. Mungkin saja bertepatan hari MOS
bulan lalu ternyata maag nya sudah parah, entah maag akut atau apa.
Aku pun tidak menyangka akan secepat ini.” kata Caca.
“Aku
sama sekali tidak tahu. Mungkin katamu? Jangan mengada-ngada kamu bajingan!”
kata ayah Swara memanas.
“Ya
itulah paman penyebab paling logisnya yang bisa kita terima. Paman itu sebagai
orang terdekatnya harusnya menjaga Swara dengan baik sebagai orang tua tunggal,
paman harusnya mengetahui hal itu.” balas Egi yang juga mulai memanas.
“Lalu
kamu! Yang mengaku mendapat hasil pemeriksaan dari rumah sakit. Apa yang
tertera di situ?” tanya ayah Swara seraya menunjuk Bu Reni.
Bu
Reni mencoba menjelaskan sekali lagi. Dia meminta maaf sebesar-besarnya karena kemarin sore, tidak
bisa langsung ke rumah pak Anto menyerahkan hasil pemeriksaan tersebut. Ketika
ia hendak ke rumah ayah Swara, tiba-tiba ada sesuatu yang mendesak dan dia
harus pergi keluar kota. Barulah larut malam ia baru bisa balik ke kota ini.
“Jangan banyak omong kamu, lanngsung saja apa yang
tertulis di sana, buktikan kata-kata anak didikmu barusan.” hardik ayah Swara.
Bu
Reni bingung, sepertinya ayah Swara belum saja mengerti. Dia yang belum sempat
membuka hasil pemeriksaan tersebut dan memang tidak ingin mendahului ayah Swara
tidak tahu apa yang tertulis, hanya saja Dokter yang mengantar hasil
pemeriksaan tersebut menyampaikan bahwa dugaan ayah Swara tidak benar. Ia pun
menyampaikan hal tersebut sambil berusaha menenangkan dengan cara bicaranya
yang lembut.
“Jujur
saja saya juga sangat ingin mengetahui sebab dari meninggalnya nak Swara. Namun
saya tidak ingin mendahului bapak untuk mengetahui penyebab kematian anak
Bapak.” kata Bu Reni.
“Alah
kamu ini, coba kamu tunjukkan kepada saya.” kata ayah Swara.
“Sebentar
Pak.” sahut bu Reni.
Bu
Reni membuka tasnya dan selama empat menit merogohnya map dari rumah sakit itu
tidak juga ditemukan. Ia bingung dan meminta permisi sebentar ke toilet dengan
alasan sudah ingin sekali buang air besar. Sepuluh menit kemudian, mau tidak
mau bu Reni harus keluar dari persembunyiannya karena ayah Swara tengah
menungggunya di luar pintu.
Setelah
keluar dari toilet, Bu Reni menjelaskan bahwa tiba-tiba map tersebut tidak ada
dalam tasnya. Mungkin saja tertinggal di rumah terangnya dan bu Reni berjanji
membawakannya lagi besok hari.
Keesokan
harinya jelas saja janji bu Reni akan diminta ayah Swara. Padahal setelah
dicari di rumah pun map itu tetap tidak ada. Apakah terjatuh atau tertinggal di
mana? Entahlah.
Bu
Reni terpaksa harus menghindar dari ayah
Swara sampai jam sekolah berakhir. Bu Reni bergegas untuk segera pulang. Namun
ayah Swara tengah menghadangnya dipintu gerbang. Bu Reni pun tak dapat berkutik
lagi.
“Kamu
pasti sudah tahu apa tujuan saya menunggu kamu di sini. Iya kan?!” kata ayah
Swara.
“Oh
iya pak. Begini kemarin sudah saya cari di rumah, dari kamar, ruang tamu,
dapur, pokoknya dari lantai atas tempat kerja saya sampai lantai bawah, saya
belum menemukan map itu. Sekali lagi saya minta maaf karena belum bisa
membawakannya hari ini. Beri saya waktu satu hari lagi ya Pak untuk
mencarinya.” kata bu Reni sambil memohon.
Mata
ayah Swara memerah, ia terlihat menggeram hanya saja kali ini dia terlihat
sedang menahan amarahnya.
“Baik.”
jawabnya singkat. Kemudian meninggalkan Bu Reni yang berdiri gugup terpaku.
“Syukurlah
kali ini dia tidak memakanku.” ucap bu Reni yang sudah tahu tempramental ayah
Swara.
Bu
Reni bingung kemana dokumen penting itu, seingatnya setelah ia menerima dokumen
tersebut langsung dimasukkannya ke dalam tas dan dibawanya pergi. Kemudian
kembali ke rumah dengan tidak ada memindahkannya ataupun mengeluarkannya dari
dalam tas. Sekali lagi ia berusaha mengingat-ingat ketika ia sedang berjalan
dan beraktivitas di luar. Mulai dari ke luar taksi sampai mampir di Super Market. Sejenak ia terdiam.
Kemudian semuanya semakin membingungkan.
Jam
dinding telah menunjukkan pukul dua belas malam, Bu Reni belum bisa tidur
karena memikirkan berkas penting itu.
“Kemana
menghilangnya berkas tetrsebut? Kemana, di mana?” pikir Bu Reni.
“Aku
tidak boleh ikut berprasangka buruk pada murid-muridku. Bukankah kemarin aku
berusaha mengelak prasangka ayah Swara pada Egi dan Clara.” gumam bu Reni yang
tak henti-hentinya memikirkan berkas yang hilang.
Bu
Reni bersikeras memejamkan matanya dan akhirnya terlelap.
Pagi
harinya, di Sekolah.
Bu
Reni masih saja bingung dan mimik wajahnya tak bisa menutupi apa yang sedang ia
rasakan.
“Permisi
bu.” sapa Beni.
“Oh,
iya.” kata bu Reni kaget.
“Kalau
boleh saya tahu, kenapa ibu terlihat begitu bingung dan khawatir seperti itu?”
tanya Beni.
Bu
Reni pun bercerita pada Beni bahwa hasil pemeriksaan dari dokter tentang sebab
meninggalnya Swara telah hilang begitu saja.
“Apa
ibu sudah mencarinya?” tanya Beni.
“Ibu
sudah mencarinya kemana-mana Ben.” kata bu Reni.
“Saran
saya begini saja, ibu harus datang ke dokter itu dan meminta berkasnya lagi.”
ucap Beni.
Terdiam
sejenak. Bu Reni terlihat sedang berpikir.
“Betul
sekali Ben, kenapa saya begitu bodoh dan tidak berpikir seperti itu.” kata bu
Reni.
“Saya
tahu ibu panik, makanya jernihkan pikiran dulu Bu dan jangan terburu-buru. Bu
Reni sudah makan?” kata Beni.
“Belum,
nak.” sahut Bu Reni.
“Mau
saya temani Bu, kebetulan ada waktu setengah jam lagi baru lonceng berbunyi?”
tawar Beni.
“Boleh,
terima kasih nak.” kata Bu Reni.
“Sama-sama
Bu.” jawab Beni.
Tiba
di kantin, karena sudah lapar Beni langsung memesan makanan untuknya dan Bu
Reni.
Usai
makan Bu Reni langsung pamit.
“Biar
Ibu yang bayar semuanya Ben.” kata Bu Reni.
“Tidak
usah Bu.” sahut Beni.
“Tidak
apa-apa Ben. Ya sudah, ibu pergi ke rumah sakit dulu ya. Assalamualaikum.” kata
Bu Reni.
“Oh
terima kasih bu. Waalaikumsalam.” sahut Beni.
Satu
jam kemudian.
Sesampainya
di rumah sakit dengan semangat bu Reni menanyakan dimana ruang dokter Richard
yang telah memeriksa Swara karena besar harapannya masalah ini akan berakhir
setelah ia menemukan bukti-bukti tersebut.
Ketika
apa yang dibayangkan tidak sesuai dengan kenyataan, bu Reni terkulai lesu. Ia
duduk sambil menghela nafas.
“Ya
Allah, bagaimana ini?” ucapnya.
Ternyata
dokter Richard telah dipindahkan untuk bekerja di luar negeri dan pegawai lain
pun tidak ada yang menyimpan arsip berkas tersebut.
“Mengapa
sampai tidak ada copy-an berkas
tersebut? Itu kan dokumen penting, tidak hanya bagi saya tapi seharusnya di
sini juga menyimpan arsip itu, bagaimana sih? tidak becus sekali.” Bu Reni
mengomel.
“Kami
minta maaf, kami benar-benar tidak tahu dimana dokter Richar menyimpan arsip
itu. Mungkin betul apa yang telah ibu katakan, pegawai di sini memang tidak
terlalu cakap mengurus dan menanyakah hal mendetail seperti hal tersebut, tidak
ada yang menanyakan kepada dokter sebelum dokter Richard meninggalkan rumah
sakit ini.” kata atasan dari staf yang ditemui bu Reni sebelumnya.
“Kalau
begitu pecat saja mereka.” kata bu Reni.
“Saya
mewakili pekerja lainnya memohon maaf sekali lagi. Memang tidak lama ini telah
diberhentikan beberapa pegawai yang kurang cakap seperti itu karena disadari
pekerjaan kami juga menyangkut nyawa orang lain. Kami juga lebih selektif lagi
menerima Dokter Muda (DM) untuk bekerja di sini. Tetapi, saya akan bantu
mencarikan yang ibu butuhkan.” kata dokter pengganti sementara dokter Richard.
“Ini kartu nama saya, jika Anda sudah menemukan arsip
tersebut segera hubungi saya.” kata bu Reni.
Waktu
berlalu, namun dokter belum saja memberikan kabar kepada bu Reni. Sesekali
didatanginya lagi oleh bu Reni Rumah Sakit tersebut, tapi tidak ada hasil yang
membuahkan. Ayah Swara yang terlalu berlarut-larut memikirkan mistreri kematian
anaknya menjadi stres dan akhirnya di rawat di Rumah Sakit Jiwa.
Di Sekolah... Entah siapa yang menyebarkan bahwa penyebab
kematian Swara belum jelas. Maka muncullah kelompok detektif yang terdiri atas empat
orang yang beranggotakan dua orang siswa dan dua orang siswi.
Mereka adalah Ana, Beni, Caca dan Eko. Beni adalah teman
SMA Swara yang tentu saja peduli dengan kasus seperti ini. Caca teman Egi yang
hampir menjadi tersangka. Ana merupakan siswi terpintar yang ada di kelas
mereka, yaitu kelas X E yang merupakan kelas Beni juga. Terakhir ada Eko yang
diam-diam menyukai Swara sejak pandangan pertama dan tentu dia juga peduli
dengan kasus ini sehingga ia ingin membantu ayah Swara serta ibu Reni dan yang lainnya
yang sangat ingin mengetahui penyebab kematian Swara.
Sebelum
melakukan aksi mereka, kelompok detektif akan melakukan kegiatan makrab atau
malam keakraban. Secara konsep, kegiatan ini bertujuan agar mereka yang
sebenarnya bukan teman sepermainan bisa mengenal satu dengan yang lain. Selain
itu, untuk menciptakan kenyamanan, saling mendekatkan dengan bertukar pikiran,
dan belajar terbuka.
Mereka
berencana melakukan perjalanan jauh, menikmati suasana baru yang berbeda dari
biasanya, tanpa kebisingan dan menyusun serangkaian kegiatan menyenangkan yang
bertujuan menguji kekompakkan mereka juga yaitu dengan Camp Ground, Hiking dan Camp
Fire.
Tiba pukul tiga sore. Beni mengirim sebuah pesan singkat kepada teman-temannya untuk
mengingatkan agar mereka bergegas berkumpul di tempat yang telah di janjikan,
yaitu di depan sekolah mereka.
Setengah jam berlalu, satu persatu
dari mereka yang ikut ke Bukit berdatangan. Satu jam kemudian, tepatnya pukul empat sore ketika semua terkumpul, Ana, Caca, Beni dan Eko segara berangkat. Diperjalan Ana dengan teman satu motornya yaitu Beni terpisah dengan Caca dan Eko, karena
menunggu lampu Merah berubah jadi Hijau. Ana dan Beni sama sekali tidak mengetahui arah Bukit Batas tempat yang mereka tuju.
“Ben, berhenti
sebentar. Mari kita bertanya pada Bibi yang
berjualan kue itu, siapa tahu Bibi itu penduduk asli di sini dan
bisa membantu kita.” kata Ana sambil menepuk
bahu Beni.
Ana dan Beni hanya bisa berdoa agar mereka cepat dipertemukan
dengan teman-temannya
setelah mencoba bertanya pada penduduk
setempat.
Ana turun dari
motor dan menghampiri Bibi penjual kue.
“Permisi bi.”
sapa Ana.
“Iya.”
sahutnya.
“Saya mau
menanyakan apakah bibi tahu arah ke Bukit Batas?” tanya Ana.
“Umm Bukit
Batas, lurus saja neng.” kata Bibi penjual kue.
“Oh seperti itu
kah, terima kasih ya Bi? Kami permisi dulu.” kata Ana.
Adzan Magrib tiba bersamaan dengan
sampainya Ana dan Beni ditempat
tujuan. Namun yang ada tidak sesuai dengan ekpetasi mereka. Tanahnya sangat becek,
menyebabkan pakaian, terlebih lagi sepatu mereka cepat sekali kotor, dan banyak
sampah. Keadaan sekitarnya pun tidak asri lagi.
“An, seperti yang kita lihat saat ini, jauh
sangat berbeda bukan dengan apa yang kita lihat di instagram kemarin? Bahkan
tidak ada persamaannya sama sekali. Apa kamu yakin ini tempatnya?” tanya Beni.
“Iya ya. Jangan-jangan
bukan ini tempatnya, apa kita tersesat? Mungkinkah Bibi penjual kue itu
memberikan petunjuk yang salah? Agrhh... tega sekali dia.” ujar Ana.
Beni mencoba
melihat ke sekelilingnya. Namun ini bukanlah Bukit Batas, pikir Beni.
“Sebentar.
Jangan suudzan dulu na.” kata Beni.
“Lalu bagaimana
ini? Kita balik saja atau...” kata Ana yang masih bingung dan tidak dapat
melanjutkan omongannya.
“Sayang ah
kalau harus balik. Kita lanjutkan saja pencarian ini, bagaimana An menurutmu? Apa
kamu setuju dengan pendapatku?” ujar Beni.
“Ayo!! Aku juga masih semangat ko.” kata Ana.
“Dan harus
selalu semangat An, oke?” kata Beni.
“Oke.” jawab
Ana.
“Sebelum kita
naik lagi, bagaimana kalau kita titipkan motorku dulu?” tanya Beni.
“Dimana?” tanya
Ana.
“Sebelumnya
sampai di sini, aku melihat satu buah rumah di bawah sana, belum terlalu jauh.
Kita balik arah sebentar ya?” kata Beni.
“Ya sudah kalau
begitu.” kata Ana.
“Semoga aman.”
kata Beni.
“Aamiin.” sahut
Ana.
Beni pun menitipkan
motornya di rumah tunggal yang ada di sana. Ana dan Beni melanjutkan
perjalan. Mereka mulai mendaki untuk mencari tempat indah yang diangankan. Setelah sekitar 40 menit mereka berjalan...
“Wawww!!!”
teriak Ana.
“Ada apa Na?”
kata Beni yang masih berada sedikit di bawah Ana.
“Lihat itu Ben!
Ayo cepat naik.” kata Ana kegirangan.
“Iya, iya Naa.”
sahut Beni.
“Cepat Ben...
Sedikit lagi kita akan tiba di tempat yang indah, entah itu Bukit Batas atau
bukan, tapi dari sini kelihatan mempesona sekali.” kata Ana.
“Subhanallah,
indah sekali.” ujar Beni terkagum-kagum.
Agar bisa
melihat keindahan alam yang tercipta, mereka
melewati petualangan dalam kegelapan malam. Hanya membawa
satu alat penerangan yang kecil cahayanya. Kurang lebih setengah jam sampailah mereka dipuncak yang indah.
Sejenak Ana menghela
nafas dan menghirup udara, angin sepoi-sepoi yang mampu menyapu keringatnya.
“Assalamualaikum
anak muda.” kata Eko menepuk pundak Beni dari
belakang.
“Ko malah
bengong?!” lanjut Caca.
“Kalian
darimana saja?” tanya Eko.
“Kami tidak
tahu arah Bukit Batas ini. Jadi ketika kami kehilangan jejak kalian, kami bertanya pada penduduk setempat. Setelah itu tadi sempat salah arah
juga. Makanya baru sampai. Maaf ya telah membuat kalian menunggu lama.” terang
Beni.
“Ah santai
saja. Ayo kita dirikan tenda.” kata Eko.
“Eko?” Kalian
disini juga?“ kata Ana yang baru melihat Eko.
“Ya iya dong.
Baru sadar anak ini. Kita sudah dari tadi di sini. Kemana saja kalian?” sahut
Caca.
“Kami sempat
tersesat.” kata Ana.
“Sudah dua jam
loh kami menunggu.” kata Caca.
“Sydah, sudah.
Ayo kita mulai.” lanjut Eko.
“Sabar dong, kasih aku waktu untuk bernafas dulu.” dengus Ana.
Lalu semuanya tertawa.
Setelah itu Ana
dan Caca membuka matras untuk
duduk-duduk sebentar. Sedangkan Beni dan Eko mendirikan tenda untuk mereka
tidur.
“Guys, apa kalian tidak lapar
setelah menempuh perjalanan yang lumayan menguras tenanga ini?” kata Eko.
“Lapar sekali. Ayo segera keluarkan bekal yang kalian bawa. Aku minta
saja ya? Hehe.” jawab Beni.
“Ya sudah
gabungkan makanan yang ada. Kemudian kita makan malam
bersama dengan bekal seadanya ya?” kata Caca.
Di sinilah indahnya kebersamaan dan
suasana kekeluargaan yang sangat terasa. Di sini mereka juga membuat api unggun untuk menghangatkan badan
karena udara di atas perbukitan sudah mulai
dingin.
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar